Tolak Pungli, Warga Permata Buana Dipersekusi Pengurus RT RW

JAKARTA – Sejumlah masyarakat Komplek Permata Buana, Kembangan, Jakarta Barat alami ketakutan oleh pengurus RW 11. Mereka terancam alami persekusi dan diskriminatif lantaran menolak adanya pungli yang dilakukan pengurus setempat.

Hal itu terungkap usai seorang warga RT 01 RW 11, Candy dan Johan menjalani sidang perdana kasus pemerasan, pencemaran nama baik UU ITE. Mereka alami persekusi usai menolak memberikan uang sebagai kompensasi renovasi rumahnya.

“Saya mendapatkan intimidasi, mulai dari larangan renovasi rumah, melarang kendaraan material masuk, hingga ancaman terhadap tukang yang bekerja,” kata Candy dalam kesaksisannya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat beberapa waktu lalu.

Candy dan Johan sebelumnya sempat mendapatkan ancaman secara verbal melalui pesan WhatsApp-nya dan telepon. Bahkan mereka sempat diminta uang senilai puluhan juta sebagai kompensasi renovasi rumah mereka.

Pantauan dilokasi, kawasan Komplek Perumahan Permata Buana begitu steril. Sejumlah akses masuk dikawasan itu harus melewati beberapa pos keamanan yang ketat.

Selain itu, di dalam kawasan itu pula terdapat beberapa portal maupun pagar yang membatasi akses masuk sejumlah kendaraan. Bisa dipastikan selain penghuni sendiri tidak bisa masuk ke kawasan itu.

Keluhan akan pungli diungkapkan Jn (39), warga lainnya. Ia yang telah 7 tahun tinggal disana kerap menerima pungli dari beberapa pengurus. Tidak hanya renovasi. Pungli juga diminta dalam beberapa kasus lainnya, mulai dari pengantaran barang dan acara lainnya.

“Kami seperti dipaksa suruh bayar. Kalo tidak bayar kami mendapatkan sikap diskriminatif. Kaya dicuekin, pengurusan administrasi kependudukan diperumit, hingga lainnya dalam pengurusan IPL,” katanya sembari mengatakan pungli demikian terjadi dua tahun terakhir.

Senada To (63), mengatakan dirinya pernah mendapatkan persekusi di atas. Ia kala itu melaporkan soal penutupan akses jalan yang dianggap merugikan dirinya ke Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat.

Bukannya dilakukan diskusi untuk mencari solusi. Tapi mendapatkan tekanan. Ia bahkan sempat mendapatkan ancaman verbal, hingga berujung melaporkan kejadian ini ke pihak ke Polisi.

Tidak hanya itu, baik Candy, Johan, Jn, dan To sendiri mengakui keuangan pengurus RT RW di tempatnya tidak terbuka. Ini terlihat dengan tidak pernah adanya laporan keuangan dari warga dan penggunaanya dalam beberapa tahun.

Bahkan terhadap itu, banyak warga yang protes, namun ancaman kekerasan verbal. Kondisi ini membuat mereka tidak nyaman.

Disisi lain, banyak pemilik rumah juga yang kesulitan menjual rumahnya. Sebab banyak agen perumahan tidak bisa masang iklan dan spanduk karena alasan bayar IPL.

“Ini kan menghambat penjualan rumah saya laku terjual,” timpal Jn lantaran pengurus meminta izin untuk kompensasi pemasangan spanduk.

Bahkan aturan ketat yang terjadi dianggap kelewa batas. Ia menjelaskan pernah sewaktu-waktu salah satu pagar rumah seorang warga ambruk. Karena darurat, pemilik rumah kemudian memanggil tukang las.

Namun pemanggilan itu sia-sia, lantaran tukang las tidak diperkenankan masuk sebelum mendapatkan izin.

“Inikan lucu, masa iya kami harus izin untuk membenahi rumah kami sendiri. Okelah terlepas dari kasus itu, kami juga saat merenovasi diminta membayar IMB, sementara IMB dari pemda aja gratis,” tutupnya.

Pos terkait