Malam Barangkali Tidak Setenang Siang

Setiap hajatan lima tahunan, kita selalu merasa senang campur gelisah. Senang karena pemilu menghasilkan pemimpin baru, menggantikan pemimpin lama. Gelisah karena setiap pemilu selalu menyisakan polarisasi sosial.

Kepemimpinan politik di Indonesia hanya bisa dua periode saja.

PEMILU sering dikatakan pesta rakyat. Bukan hanya pestanya para pemimpin partai politik. Bukan pula hanya pestanya elite politik, itu tidaklah benar.

Tapi hal itu secara teori benar, tetapi realitasnya kadang yang terjadi sebaliknya. Pemilu bukan pesta rakyat secara keseluruhan. Yang berpesta hanya yang terlibat pemilu saja.

Panitia pemilihan umum : Komisi Pemilihan Umum (KPU) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Partai politik, ketua – ketua partai, elite politik, kaum Oligarki, pemilik lembaga survei, konsultan politik dan semua yang terkait.

Rakyat hanya ditunggu keterlibatannya saat hari pemilihan. Di hari pencoblosan itu, rakyat seperti disetubuhi dalam semalam, setelah itu ditinggal pergi.

Di bilik suara rakyat memilih pemimpinnya, memilih wakilnya di DPR atau memilih gubernur, bupati dan walikota. Setelah memilih rakyat tidak terjadi apa-apa. Rakyat hanya berharap, setelah memilih terjadi perubahan dalam kehidupan karenanya aspirasi dan janjinya dijalankan oleh yang dipilihnya.

Kontrak itu terelialisasi hanya ketika di bilik suara. Memilih pemimpin berdasarkan hati nuraninya sendiri.

Karena rayuan calon pemimpin yang berjanji akan menyejahterakan rakyat, akan menjaga keamanan, kesehatan menjamin keselamatan, pendidikan serta memberikan lowongan pekerjaan, maka warga negara memilihnya.

Sialnya, setelah memilih di bilik suara, selanjutnya rakyat dibiarkan menderita. Yang terpilih tidak merealisasikan janji-janjinya . Yang dipilih sudah menjadi pejabat. Setelah menjadi pejabat, pejabat itu kemudian menjadi palayat. Pejabat menjadi pelayat (takshiyah) bagi rakyat yang menderita, tergusur dan sengsara. Setelah menjadi pejabat tidak menolong rakyatnya terusir dari kampung halaman.

Setelah yang dipilih menjadi pejabat, rakyat digusur, tidak dibela kepentingannya. Artinya rakyat tetap saja menderita. Itulah dinamika yang terjadi dalam pemilihan umum. Mau pemilu presiden, pemilu legislatif atau pun pimpinan daerah. Rakyat hanya untuk legitimasi.

“Isi gelas sampai penuh, tegak sampai tandas. Coblos, setelah terpilih kau kutinggalkan,” barang kali ini ironi setiap pilpres.

Belum bila penyelenggaraan tidak jurdil. Panitianya berbuat curang. Membiarkan partai A, melanggar ketentuan, tapi menindak partai Z yang melakukan hal yang sama.

Kalau terjadi kecurangan dalam pemilu, barangkali malam tidak setenang siang. Suasana pesta jadi anarkis. Yang awalnya pesta demokrasi, dari rakyat untuk rakyat berubah menjadi kacau balau.

Pemilu 2024 yang akan datang bisa menjadi panas, tidak tenang kalau sejak sekarang terlihat bibit kecurangan. Kalau terjadi chaos, yang rugi kita semua, rakyat.

Aras politik dalam pemilu presiden musti diarahkan pada pemilu yang jurdil. Aparatnya tidak memihak salah satu pasangan baik yang nyata maupun yang terselubung. Dengan tidak adanya intervensi jalannya pemilu akan lebih tenang. aman dan nyaman. Kalau terjadi pemilu curang, maka malam tidak akan setenang siang. Malam terlihat gelisah dan mengandung bahaya.

Aras politik musti diselaraskan dengan hajatan demokrasi. Para pemimpin partai dan elite politik harus legowo menerima kekalahan.

Penulis : Isti Nugroho

Pos terkait