Redaksikota.com, JAKARTA – Rumah Wasathiyah bersama dengan tokoh cendekiawan muslim, serta mantan amir Jamaah Islamiyah (JI) menggelar kajian bersama dalam format Focus Discussion Group (FGD) dengan tema “Strategi Kontranarasi terhadap Isu Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme (IRET)”.
Dalam paparannya, alumni kampus di Damaskus Suriah Muhammad Najih Arromadloni alias Gus Najih mengatakan bahwa tema tersebut penting dibahas oleh para peserta diskusi untuk dapat mendalami tentang bahaya tafsir agama yang keliru di kalangan masyarakat.
“Kegiatan ini diharapkan menjadi wadah penyadaran masyarakat terhadap bahaya tafsir keagamaan yang ekstrem,” kata Gus Najih dalam paparannya di acara yang digelar di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (13/8/2025).
Merespons tema dalam diskusi tersebut, mantan amir Jemaah Islamiyah, Ustadz Para Wijayanto menjelaskan bahwa dalam ber-Islam atau beragama, banyak aspek yang disalahpahami. Salah satunya adalah menafsirkan Surat Al Maidah ayat 44-47, di mana banyak yang menafsirkan bahwa ketika seseorang tidak berhukum pada hukum Allah SWT, maka ia dapat dikategorikan sebagai kafir.
Oleh sebab itu, literasi tersebut akhirnya patut untuk diluruskan sehingga umat tidak salah kaprah dalam menafsirkan dan memahami isi dalil yang ada, termasuk Alquran.
“Selama ini, teks-teks yang dipakai—seperti tentang ḥākimiyyah dan takfir—diambil secara literal tanpa mempertimbangkan konteks sejarah dan tafsir ulama muktabar,” kata Ustadz Para Wijayanto
Dalam kesempata yang sama, cendekiawan muslim yang juga guru besar bidang Ilmu Politik Hukum Islam, Prof. JM Muslimin pun memberikan pandangannya soal bagimana para tokoh Islam beragama. Salah satunya adalah Ibnu Abbad, Al Qurtubi hingga Ar Razi yang memandang beragama dengan sangat bijak.
Ia memaparkan bahwa dalam perspektif para cendekiawan Islam tersebut memahami sebuah kufur menjadi dua bagian, yakni kufur besar dan kufur kecil. Untuk kufur besar, memang mereka akan menentang seluruh hukum Allah dan tidak percaya dengannya.
“Para mufasir klasik seperti Ibn Abbas, Al-Qurtubi, dan Ar-Razi membedakan dua kufur, pertama kufur besar (kufr akbar) yang menolak hukum Allah secara keyakinan (juhud),” kata Prof. JM. Muslimin.
Sementara untuk kufur kecil, dapat dideskripsikan bahwa seseorang memang tidak serta merta berhukum pada hukum Allah, walaupun secara lahiriyah dirinya tidak menampik kebenaran tentang Islam secara umum.
“Kufur kecil (kufr duna kufr) yaitu meninggalkan hukum Allah karena hawa nafsu, tapi tetap meyakini kebenarannya,” lanjutnya.
Dalam aspek itu, salah satu cendekiawan muslim yang juga pakar hadist dari Darusunnah Ustadz Muhammad Hanifuddin mengajak semuanya untuk bisa hidup lebih moderat dengan pendekatan, yang Nabi Muhammad SAW pun pernah mengajarkannya kepada para sahabat dan pengikutnya.
“Rasulullah SAW melarang saling mengafirkan sesama Muslim dan mengajarkan prinsip bahwa tidak semua kafir boleh diperangi,” kata Ustadz Hanif.
Merujuk pada hal itu, ia pun menilai konteks ini dapat dijadikan sebagai materi kontra narasi untuk meredam kesalahpahaman dalam bergama, khususnya di kelompok ekstrem yang keras kepala dan salah dalam memahami konteks ke-Islam-an.
“Hadis-hadis semacam ini adalah fondasi etika kontranarasi,” sambungnya.
Pendekatan Berjenjang
Untuk mencapai perbaikan literasi dan menebarkan konsep beragama yang moderat (Wasathiyatul Islam), FGD tersebut menemukan sebuah jawaban penting untuk mengaktualisasikannya.
Pertama adalah melakukan literasi dan narasi kontra radikalisme kepada semua kalangan, baik lintas organisasi, kelompok maupun individu. Bagaimana mereka diajarkan tentang akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Asy’ariyah–Maturidiyah).
Dengan memberikan literasi yang baik, maka semuanya diharapkan dapat belajar tidak sekadar tekstual, melainkan mampu melihat agama dalam kontekstualitas agar tidak jatuh pada literalisme kaku.
Strategi penyebaran harus bersifat berjenjang dan adaptif, misalnya ; diskusi masif di masyarakat baik offline dan online. Kemudian memproduksi konten singkat berbasis hadis-hadis rahmah dan ukhuwah, dilakukan sengan berkolaborasi para ulama hingga content creator.
Selanjutnya, dapat juga melibatkan mantan pelaku sebagai pembawa pesan atau (messenger), sehingga pesan yang disampaikan jauh lebih bisa didengarkan dan lebih kredibel.
“Kontranarasi harus diarahkan secara spesifik kepada dua sasaran, yakni eks-napiter atau mereka yang sudah punya pengalaman ideologis, dan kelompok rentan atau mereka yang baru terpapar,” tutur dewan pakar Rumah Wasathiyah, Irjen Pol (purn) Hamli.
Selanjutnya, upaya selanjutnya adalah dapat melakukan pendekatan dengan konsep jangka panjang, yakni dengan cara mendorong revitalisasi pengajaran akidah Aswaja di pesantren dan ruang publik.
Dalam perspektifnya, cendekiawan muslim dari Ponpes Darussunnah Ustadz Izzah Farhatin Ilmi menyarankan agar ada modul literasi keislaman kontekstual untuk masyarakat perkotaan dan kalangan muda. Serta mengembangkan forum lintas-ulama dan akademisi untuk mengkaji ulang kitab-kitab yang sering disalahpahami. Tujuannya adalah untuk memasifkan teladan Rasulullah SAW tentang pentingnya menjaga perdamaian.
“Tradisi perdamaian adalah teladan Nabi. Hadis-hadis tentang kasih sayang, perlakuan terhadap tetangga, dan penghormatan lintas agama harus dimunculkan sebagai inspirasi narasi damai,” tegasnya.
FGD tersebut dihadiri para cendekiawan dan tokoh muslim muda. Termasuk di antaranya adalah pakar Turots dan alumni Universitas Al Azhar Mesir Dr. Ahmad Ginanjar Sya’ban, kemudian salah satu pengasuh pondok pesantren Dr Mohammad Yusni Amru Ghazali, pakar terorisme dan peneliti di Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Universitas Indonesia (UI) Solahuddin, dan masih banyak yang lainnya.
Mereka pun dengan sukarela saling berbagi pemahaman dan pandangan tentang bagaimana berislam yang moderat, sehingga mewujudkan Indonesia yang damai dan saling berukhuwah.






