Pancasila Lawan Kerapuhan Etika Pendidikan

Dr. Benny Susetyo
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP

Dalam upaya menyoroti dan mengupas persoalan mendasar yang kerap diabaikan dalam konteks etika sosial dan pendidikan di Indonesia, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama Universitas Negeri Malang menggelar Focus Group Discussion (FGD). Kegiatan ini dilakukan untuk membedah semakin rapuhnya etika penyelenggaraan negara di Indonesia dengan menggali masalah yang mengakar pada kapitalisme global yang telah mereduksi dunia pendidikan menjadi sekadar instrumen ekonomi jauh dari visi luhur yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa. Pendidikan, yang semestinya menjadi penopang utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, kini terombang-ambing dalam arus pragmatisme. Alih-alih membentuk generasi yang mencintai tanah air, budaya, dan bangsanya, pendidikan Indonesia justru terseret dalam pusaran industri dan pasar kerja. Nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan budaya semakin tersisih, menjadikan tujuan pendidikan sekadar menghasilkan tenaga kerja siap pakai.

Bacaan Lainnya

Pendidikan yang seharusnya menjadi instrumen pembebasan dan pemanusiaan, kini tereduksi menjadi barang dagangan di bawah cengkeraman kapitalisme global. Akses terhadap pendidikan berkualitas semakin eksklusif, dikuasai oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial, sementara mayoritas anak bangsa tersingkir dari peluang yang setara. Sistem pendidikan kita, yang seharusnya membentuk manusia merdeka dengan kepribadian kokoh dan kesadaran sosial tinggi, kini terperangkap dalam logika pasar. Institusi pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi, tidak lagi berfokus pada pendidikan untuk semua, melainkan semakin berorientasi pada keuntungan. Biaya pendidikan yang melonjak hanya menguntungkan segelintir orang, memperdalam jurang kesenjangan sosial yang mengancam kohesi masyarakat. Pendidikan yang kini terjebak dalam sempitnya logika pasar kerja, menciptakan generasi yang hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan industri, mengabaikan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi fondasi karakter bangsa. Sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan seharusnya menciptakan individu yang mampu berpikir kritis dan mandiri. Namun kenyataannya, sistem pendidikan kita kini malah menghasilkan individu-individu yang terjebak dalam pola pikir mekanistik dan pragmatis, menjauh dari esensi kemanusiaan dan kebebasan yang sejati. Kegagalan ini bukan hanya pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa, tetapi juga ancaman serius bagi masa depan peradaban kita.

Pancasila harus kembali menjadi roh dan landasan utama yang menghidupkan sistem pendidikan Indonesia, bukan sekadar simbol seremonial atau retorika kosong. Pancasila harus menjadi fondasi moral yang menjiwai setiap langkah dalam membangun generasi bangsa. Lebih dari sekadar ideologi negara, Pancasila harus diinternalisasi sebagai pedoman etis dalam dunia pendidikan, membentuk cara berpikir, bertindak, dan bernalar setiap warga negara. Dalam praktiknya, pendidikan yang berlandaskan Pancasila tidak boleh hanya berorientasi pada produksi tenaga kerja yang kompeten, tetapi juga harus menciptakan manusia yang memiliki kesadaran sosial tinggi, cinta tanah air, dan kemampuan berpikir kritis. Pendidikan tidak boleh lagi terjebak dalam logika pasar yang sempit, di mana pencapaian diukur dari sertifikasi dan gelar. Sebaliknya, pendidikan harus membebaskan pikiran dan hati, menjadikan manusia yang merdeka dalam arti sebenarnya.

Perubahan fundamental dalam sistem pendidikan harus dimulai dari para pendidik. Guru memiliki peran kunci sebagai agen perubahan dalam menciptakan pendidikan yang berorientasi pada Pancasila. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai instruktur yang menyampaikan materi, tetapi juga sebagai sahabat dan pembimbing yang menanamkan nilai-nilai luhur dalam setiap aspek kehidupan siswa. Reformasi dalam pelatihan guru sangat mendesak, memastikan bahwa mereka diberdayakan untuk mengajar dengan penuh kebebasan, kreativitas, dan integritas moral. Guru harus mampu mendidik siswa untuk berpikir kritis, mengembangkan kesadaran sosial, dan menanamkan kecintaan pada bangsa serta budayanya. Namun, tantangan besar masih menghadang, termasuk hilangnya nilai-nilai Pancasila di tengah arus kapitalisme global yang mereduksi pendidikan menjadi sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada pengajaran monologis dan dogmatis ini gagal memberikan ruang bagi siswa untuk memahami esensi dari apa yang mereka pelajari, apalagi mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran sosial yang sejati.

Untuk mengatasi masalah ini, reformasi mendalam dalam sistem pendidikan Indonesia sangat diperlukan. Pancasila harus menjadi landasan utama dalam reformasi ini, baik dalam penyusunan kurikulum maupun metode pengajaran. Pendidikan Pancasila harus diajarkan secara kritis dan relevan dengan tantangan kehidupan modern, sehingga siswa dapat memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. BPIP memiliki peran penting dalam upaya ini. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pembinaan ideologi Pancasila, BPIP harus mampu menyusun buku teks dan modul pendidikan yang tidak hanya berisi teori, tetapi juga memberikan inspirasi bagi siswa untuk mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan sehari-hari. Modul pendidikan ini harus mengubah cara berpikir, bertindak, dan bernalar siswa, sehingga mereka dapat menjadi individu yang berpikir kritis dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan harus mampu membangun kesadaran kritis di kalangan siswa karena pendidikan yang tidak hanya berfungsi untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga untuk membangun kesadaran kritis. Pendidikan Pancasila harus diajarkan dengan cara yang interaktif, sehingga siswa dapat memahami relevansi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata.

Pendidikan yang interaktif dan kontekstual harus menjadi alat revolusioner untuk membangkitkan kesadaran kritis siswa, memungkinkan mereka untuk menantang status quo dan mencari solusi nyata bagi permasalahan bangsa. Proses pembelajaran tidak boleh lagi menjadi ritual yang membosankan, di mana siswa hanya menjadi penerima pasif dari informasi yang disajikan. Sebaliknya, pembelajaran harus dirancang untuk melibatkan siswa secara aktif dalam diskusi, analisis kritis, dan pemecahan masalah. Dengan demikian, mereka menjadi subjek aktif dalam proses pendidikan, bukan objek yang hanya dibentuk oleh sistem. Tantangan terbesar yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah krisis keteladanan di kalangan penyelenggara negara. Pemimpin dan pengambil keputusan, yang seharusnya menjadi panutan, sering kali terperosok dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Keteladanan yang hilang ini merembes ke dunia pendidikan, merusak integritas dan moralitas yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam membangun generasi masa depan.

Forum yang digelar di Universitas Negeri Malang ini diharapkan mampu memberikan solusi konkret dan peta jalan bagi perubahan radikal dalam sistem pendidikan. Pemimpin pendidikan dan calon menteri pendidikan harus dipilih berdasarkan visi yang jelas dan keberpihakan terhadap rakyat, bukan berdasarkan kepentingan politik atau ekonomi semata. Mereka harus memiliki komitmen yang kuat terhadap etika publik dan tanggung jawab sosial. Pendidikan harus direbut kembali sebagai pilar peradaban, bukan sekadar mesin pencetak tenaga kerja. Sistem pendidikan yang berlandaskan Pancasila harus menjadi benteng bagi pembangunan masyarakat yang cerdas, beretika, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Reformasi pendidikan ini bukan hanya tentang mencetak generasi yang kompeten secara teknis, tetapi juga tentang membentuk manusia seutuhnya—mereka yang memiliki integritas moral, kesadaran kritis, dan cinta yang mendalam terhadap bangsa dan tanah air.

Untuk mewujudkan visi pendidikan yang benar-benar berlandaskan Pancasila, reformasi sistemik yang mendalam harus segera dilakukan. Pendidikan tidak boleh lagi dipandang sebagai komoditas yang diperdagangkan, tetapi harus dikembalikan pada fungsinya yang hakiki menciptakan manusia merdeka dengan kesadaran kritis dan moral yang tinggi. Tantangan terbesar yang kita hadapi adalah bagaimana membebaskan pendidikan dari cengkeraman kapitalisme global yang telah mereduksi esensinya menjadi sekadar alat ekonomi. Pendidikan harus menjadi sarana pembebasan yang menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kesadaran sosial, dan kecintaan yang mendalam terhadap bangsa dan budaya sendiri. Reformasi ini tidak akan berhasil jika tidak dimulai dari para pemimpin pendidikan yang berkomitmen penuh pada nilai-nilai Pancasila dan kebebasan dari intervensi politik serta ekonomi.

Ketika pendidikan kembali berpijak pada Pancasila, kita akan melihat lahirnya generasi yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki integritas moral dan etika yang kokoh. Generasi ini akan mampu menghadapi tantangan global tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendiri bangsa. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya akan menjadi pilar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga benteng yang kokoh dalam menjaga keutuhan dan kejayaan peradaban Indonesia. Inilah saatnya kita melakukan perubahan mendasar, menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan sejati, bukan sekadar mesin produksi tenaga kerja. Hanya dengan pendidikan yang berlandaskan Pancasila, kita bisa memastikan bahwa bangsa ini akan terus berkembang dengan kekuatan moral dan etika yang tak tergoyahkan.

Pos terkait