Refleksi Reformasi, FIB UI : Tak Harus dengan Unjuk Rasa

Jakarta – Tanpa terasa tahun ini reformasi yang digagas para mahasiswa dan aktivis sosial tahun 1998 lalu telah berjalan 26 (dua puluh enam) tahun. Tepat 21 Mei 1998 lalu, di istana negara Jakarta, Presiden RI HM Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI secara terbuka.

Sayangnya sampai kini cita-cita reformasi yang waktu itu menggebu-gebu, belum terwujud atau terimplementasikan di tengah-tengah masyarakat.

Bacaan Lainnya

Masalah bangsa semakin komplek dan rumit untuk dipecahkan persoalannya. Masa pencarian jati diri pasca reformasi yang berkepanjangan, membuat masyarakat bingung mau berbuat apa? mau menuju ke mana? mau mengacu kepada siapa?

Sampai-sampai cita-cita awal sebuah reformasi untuk menuju masyarakat yang madani, sejahtera, demokrasi, bermartabat, tanpa kesenjangan, adil, merata dan sebagainya kehilangan orientasi, bahkan kehilangan jati diri.

Beberapa pertanyaan tersebut dibahas dalam diskusi bersama tentang perjalanan dan makna Reformasi dalam judul “Lembaran Reformasi” yang dilakukan oleh BEM FIB UI pada hari Sabtu, tanggal 25 Mei 2024 di Pelataran FIB Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Diskusi tersebut dilakukan dalam rangka Peringatan hari Reformasi yang biasa dilakukan setiap tanggal 21 Mei, dimana menurut Mahasiswa FIB UI peringatan hari reformasi tidak harus dilakukan dengan melakukan aksi turun ke jalan atau aksi unjuk rasa.

“Namun bisa dilakukan dengan melakukan diskusi refleksi peringatan hari reformasi.” ucap Ruben selaku Wakil departemen keilmuan himpunan mahasiswa ilmu sejarah FIB UI.

Setidaknya ada empat hal yang patut menjadi prioritas untuk menggalang revitalisasi cita-cita reformasi demi mengambalikan jadi diri bangsa ini.

Pertama, masalah korupsi sudah ada sejak rezim Soeharto. Namun yang membedakannya dengan korupsi era reformasi adalah pelakunya. Dulu koruptornya sebagian besar berasal dari elite politik tertentu, kini justru merata hampir di seluruh elemen, tragisnya intensitas korupsi tersebut tidak diatasi dengan supermasi hukum yang tangguh.

“Apabila perilaku korupsi dianggap suatu hal yang biasa, apalagi para koruptor tertentu terkesan dilindungi, maka dikhawatirkan akan menjadi budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, kita akan kehilangan jati diri di mata dunia. Sehingga perlunya menciptakan Pemerintah yang bersih dari KKN,” ungkap Ruben.

Kedua, gerakan radikal. Maraknya gerakan yang meresahkan masyarakat akhir-akhir ini bahkan mengklaim diri atas nama agama, suku, kedaerahan, kelompok profesi dan sebagainya, walaupun gerakan organisasi masyarakat telah diatur dengan berbagai regulasi yang mapan, namun tanpa tindakan tegas dan rill, maka kelompok radikal tetap akan tumbuh subur dan berkembang biak.

“Dikhawatirkan citra bangsa akan semakin terpuruk. Sehingga Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang beradab, punya jati diri, ramah-tamah, sopan-santun, akan tinggal sejarah. Generasi penerus perjuangan bangsa ini pun akan kehilangan karakter,” ucap Ruben.

Ketiga, privatisasi media oleh para elite politik. Sehingga peran media menjadi sangat rentan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan politisnya. Padahal karakteristik masyarakat Indonesia dewasa ini adalah masyarakat yang berbasis informasi. Artinya, mengkonsumsi sajian media massa menjadi sebuah kebutuhan.

Jika media telah terprivatisasi oleh kepentingan politis, maka hal ini akan menimbulkan masalah baru. Dikawatirkan bahwa masyarakat tidak sekedar dijadikan konsumen media massa, melainkan akan manfaatkan menjadi komoditas dalam kepentingan politis dan penggalangan suara. Fenomena ini lebih mengkhawatirkan lagi, bila didonasi oleh kekuatan-kekuatan asing yang mengancam integritas bangsa.

Keempat, pudarnya ideologi Pancasila di kalangan generasi muda. Padahal Pancasila dikenal sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia yang pluralis. Kini butir-butir Pancasila sudah terkikis dan tidak lagi bersemayam di benak generasi kita. Kekerasan antar suku, sentimen antar agama, egoisme kelompok politik, gerakan radikal dan lain-lain menjadi bukti bahwa nilai-nilai Pancasila yang melambangkan cita-cita bersama bangsa Indonesia telah mulai dilupakan. Salah satu sebabnya adalah karena ditinggalkannya pendidikan yang berbasis Pancasila.

Kini dunia pendidikan terlalu sibuk mencetak pekerja yang tangguh, sehingga pendidikan karakter menjadi tereliminasi. Di tengah kegalauan seperti ini tentunya tidak mungkin untuk menyalahkan sejarah reformasi, karena kondisi yang terjadi sekarang adalah buah dari apa yang kita perbuat sebelumnya. Walaupun disadari bahwa kejadian ini tidak pernah dicita-citakan ketika membidani lahirnya reformasi, dua puluh enam tahun silam.

Reformasi yang sudah menginjak 26 tahun diharapkan memunculkan semangat baru dalam hal peduli terhadap negara.

“Para mahasiswa terutama, harus mampu menjadi tonggak perubahan negara yang lebih baik. Suasana demokrasi yang masih panas ini juga diharapkan mampu mengingat kembali bagaimana arah perubahan Indonesia dengan kembali bersatu,” pungkas Ruben.

Pos terkait