Revisi UU TNI Berisiko Kembalikan Tentara Seperti di Masa Orde Baru

Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil meluncurkan kajian atas rancangan revisi undang-undang (RUU) TNI yang bakal segera dibahas oleh DPR pada 22 Mei 2024 mendatang.

Dalam kajiannya, Koordinator Peneliti Imparsial Hussein Ahmad mengkritik adanya perubahan peran dan tugas TNI yang serupa seperti masa orde baru.

Bacaan Lainnya

Dalam UU TNI saat ini, tentara memiliki peran untuk di bidang pertahanan. Sementara dalam RUU, peran TNI diperluas tidak hanya untuk pertahanan melainkan juga menjaga keamanan.

Menurutnya, perubahan peran tersebut menyebabkan tugas TNI menjadi rancu. Apalagi, kata dia, TNI dibentuk untuk berperang dan menjaga kedaulatan negara.

“Kalau kemudian dia diberikan fungsi sebagai alat keamanan, maka musuh yang selama ini mereka dilatih untuk hadapi dari luar itu juga akan berubah menjadi musuh yang ada dari dalam, yaitu masyarakat sipil sendiri,” ucap Hussein dalam diskusi peluncuran kajian RUU TNI, Minggu, 19/5/24.

Hussein khawatir, diperluasnya peran TNI menjadi semacam upaya untuk mengembalikan TNI seperti masa Orde Baru (Orba) untuk mengurus masalah dalam negeri, salah satunya terkait dengan keamanan.

Selain hal tersebut, Hussein juga mengkritik adanya revisi dalam pasal 3 ayat 1 UU TNI. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI berkedudukan di bawah presiden.

Dalam draf RUU TNI terbaru, pasal tersebut menjadi ‘TNI merupakan alat negara di bidang keamanan dan pertahanan dan berkedudukan di bawah presiden’.

Hussein menyebut dengan dihapuskannya kata ‘pengerahan’ seolah-olah membuat TNI dapat beroperasi secara mandiri tanpa adanya arahan dari presiden.

“Ada upaya untuk melakukan pencabutan kewenangan presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Ini sangat berbahaya untuk negara demokratis mana pun,” tuturnya.

Ia memandang, jika hal tersebut dipaksakan, maka sama saja dengan melanggar Pasal 20 UUD 1945 yang menyebut bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata.

“Kalau kemudian ini sengaja dihapus, (RUU TNI) memang ingin mengembalikan TNI yang otonom sebagaimana masa Orba,” paparnya.

Koalisi Masyarakat Sipil juga memberikan catatan atas RUU TNI, di antaranya soal perluasan peran TNI yang tidak hanya sebagai alat pertahanan, namun juga keamanan. Selain itu, adanya pencabutan kewenangan presiden untuk memobilisasi TNI dan juga perluasan jenis-jenis operasi militer selain perang.

Mereka juga mengkritik dihapusnya mekanisme peradilan umum bagi prajurit yang melakukan tindak pidana dan perluasan jabatan TNI di ranah sipil.

Koalisi ini terdiri dari beberapa lembaga organisasi yang fokus pada hak asasi manusia seperti KontraS, PBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Setara Institute, dan juga Walhi.

Pos terkait