Simalakama Penanganan Anak-Anak dalam Konflik Kekerasan

Didik Novi Rahmanto
Serdik Sespimti 33 Sespim Polri, Kombes Pol Didik Novi Rahmanto.

Salah satu hal penting yang kerap luput dari perhatian kita terkait fenomena Milisi Teroris Asing (MTA) atau Foreign Terrorist Fighters (FTF) adalah pelibatan anak-anak dalam serangkaian aksi kekerasan yang mematikan tersebut. Penelitian oleh Soufan Group tentang FTF yang terbit dengan judul Foreign Fighters: An Updted Assessment of the Flow of Foreign Fighters into Syria and Iraq menemukan anak-anak yang terlibat dalam perjalanan ke Suriah dan Irak menjalani pelatihan senjata oleh ISIS. Mereka bahkan dilibatkan dalam pelatihan-pelatihan perang yang mencakup tindakan kejam seperti pemenggalan terhadap tawanan perang.

Anak-anak yang menjadi bagian dari FTF ini umumnya adalah mereka yang dibawa oleh orang tuanya ke Suriah dan Irak, dan di dua negara itu, mereka menghadapi kondisi yang tidak memadai untuk kehidupan anak-anak. Model pendidikan yang diberikan kepada mereka juga cenderung fokus pada kekerasan dan agama sebagai pembenarannya; mereka tidak diberi pilihan lain untuk masa depan selain menjadi pembunuh bengis bagi ISIS.

Secara historis, keterlibatan anak-anak sebagai kombatan dalam konflik bersenjata dimulai pada sekitar abad ke-18. Saat itu, anak-anak belum terlibat langsung dalam konflik bersenjata, mereka hanya berperan sebagai pembakar semangat atau ‘penabuh genderang perang’. Namun begitu, dari masa inilah pergeseran peran atau fungsi anak-anak dalam konflik bersenjata dimulai; anak-anak mulai direkrut untuk menjadi kadet di angkatan perang. Sejak saat itulah, muncul fenomena child soldiers atau tentara anak.

Keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata, termasuk aksi terorisme, sesungguhnya bukanlah hal baru. Steven R Ratner dan Jason S Abrams dalam Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond theNuremberg Legacy, Second Edition (2001) menyebut salah satu modus operandi Pol Pot semasa killing field di Kamboja telah melibatkan anak dalam aksi teror yang sulit diterima akal sehat. Ratusan anak usia 12-14 tahun merusak, menganiaya, bahkan ikut melakukan pembunuhan massal yang mengakibatkan tewasnya dua juta jiwa selama 17 April 1975 hingga 7 Januari 1979.

Tidak Berpikir Panjang

Meski begitu, sejumlah studi menunjukkan bahwa keterlibatan anak-anak dalam berbagai konflik kekerasan, termasuk terorisme, tidak pernah berasal dari persetujuan anak. Mereka dipaksa untuk terlibat.

Rasanya memang sulit untuk percaya bahwa anak-anak dapat terlibat dalam konflik bersenjata, terlebih lagi dengan tubuh yang kecil dan pola pikir yang belum matang, mereka mampu melakukan tindak pembunuhan dan kekejaman lainnya. Dari sisi psikologis, anak-anak sangat mudah diperdaya untuk menjadi individu yang berbahaya sebab mereka masih sangat rentan terhadap pengaruh eksternal dan mudah terjerumus oleh janji-janji yang diberikan. Selain itu, mereka tidak terbebani pertimbangan finansial sebagaimana orang dewasa; bagi mereka, yang terpenting adalah mendapatkan cukup makanan.

Meski begitu, sejumlah studi menunjukkan bahwa keterlibatan anak-anak dalam berbagai konflik kekerasan, termasuk terorisme, tidak pernah berasal dari persetujuan anak. Mereka dipaksa untuk terlibat. Statemen keras dari organisasi Save The Children misalnya, menyatakan bahwa tentara anak diisi oleh “anak-anak yang diculik dan digunakan sebagai kombatan, dipaksa bertindak sebagai perisai manusia atau melakukan eksekusi, ditempatkan sebagai pengebom bunuh diri, atau digunakan untuk membuat atau mengangkut bahan peledak.”

Pernyataan di atas diamini oleh studi The Phenomenon of Suicide Bombing yang menyebut terdapat peningkatan pelibatan anak dalam serangan bom bunuh diri. Selain soal fakta bahwa lebih mudah memaksa anak-anak menjadi pelaku bom bunuh diri, pelibatan anak dalam serangkaian aksi biadab ini juga dilatari oleh pertimbangan publisitas media. Bom bunuh diri yang dilakukan perempuan dan anak akan mendapat perhatian lebih dari media, sehingga propaganda yang ingin disampaikan oleh kelompok pelaku kekerasan akan lebih mudah tersebar.

Dua Konteks

Keterlibatan anak-anak dalam peperangan dapat diidentifikasi dari dua konteks utama, yakni krisis –baik secara mental maupun finansial— dan pengaruh lokal atau internal pada diri anak. Krisis, terutama finansial, dapat menyebabkan anak kehilangan hak-hak dan kebutuhan dasarnya. Jika berkelanjutan, bukan tidak mungkin krisis finansial akan membahayakan kondisi mental anak.

Sedangkan pengaruh lokal mencakup faktor lingkungan dan interaksi dengan orang-orang yang terlibat dalam konflik. Anak-anak memiliki keinginan kuat untuk melindungi orang-orang terdekatnya dan melawan yang tidak mereka sukai. Jika anak-anak dicekoki dengan narasi bahwa orang-orang terdekatnya dalam bahaya, mereka akan dengan sangat cepat merespons dengan memberi perlindungan.

Dua konteks inilah yang kerap luput dari perhatian; anak-anak yang terlibat dalam kekerasan dipandang murni sebagai pelaku kejahatan –yang karenanya harus dihukum. Padahal masalahnya tidak sesederhana itu; mereka adalah korban. Sejumlah penelitian, terutama yang fokus pada kondisi psikologis anak, menyatakan bahwa dampak psikologis pada anak-anak yang terlibat dalam peperangan dapat terasa bahkan setelah perang berakhir, dan mereka kembali ke keluarga mereka. Trauma yang mereka alami tidak bisa hilang secara instan, mereka masih akan merasakan ketakutan-ketakutan yang ditimbulkan oleh peperangan, seperti ketakutan mereka akan mati terbunuh.

Di beberapa negara, anak-anak yang terlibat sebagai tentara anak tidak diterima oleh masyarakat, mereka pun tidak bisa kembali bersekolah karena status tersebut. Penolakan-penolakan ini berpangkal pada anggapan masyarakat bahwa anak-anak malang ini telah membantu terjadinya pemberontakan. Padahal, mereka adalah korban atas peperangan tersebut. M.E Wolfgang, sebagaimana dikutip Muhammad Mustofa (2007), menyatakan bahwa anak-anak ini mengalami Secondary Victimization; mereka telah menjadi korban kekerasan dan peperangan, tetapi masih ditambahi dengan menjadi korban atas kesalahpahaman yang membuat mereka tidak bisa kembali ke masyarakat, termasuk juga tidak bisa kembali bersekolah.

Hal yang sama juga berlaku untuk anak-anak yang terlibat dalam FTF. Ketika anak-anak ini pulang dari Suriah dan kembali ke Indonesia, permasalahan yang sama akan dihadapi; mereka ditolak oleh masyarakat. masyarakat khawatir kondisi psikologis anak-anak yang telah terpapar kekerasan dapat membentuk pandangan hidup yang berbeda dari anak-anak sebaya mereka. Akibatnya, anak-anak ini menjadi rentan terhadap perilaku kekerasan, ditambah lagi dengan label dan stigma sebagai anggota kelompok teroris.

Oleh karena itu, penanganan terhadap FTF harus mempertimbangkan posisi anak sebagai korban sekunder. Penting bagi penegak hukum untuk tidak melakukan tindakan re-viktimisasi terhadap mereka dan memperlakukan anak-anak ini sebagai korban, bukan pelaku. Pendekatan yang lebih holistik dan peduli terhadap kesejahteraan mental anak-anak perlu diambil untuk mencegah mereka terjerumus lebih dalam di lingkaran kekerasan dan radikalisasi.

Pos terkait