Perjuangan Menanti Perwujudan Keadilan Iklim Demi Selamatkan Bumi & Rakyat Indonesia

Jakarta – Minggu, 21 Januari 2024, para kandidat Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) akan melangsungkan debat yang mengangkat isu pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup, energi, sumber daya alam, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. Sayangnya, isu keadilan iklim belum masuk menjadi tema khusus di dalam debat nanti. Hal ini menunjukkan adanya persepsi yang menyepelekan urgensi perubahan iklim sebagai sebuah krisis yang nyata telah terjadi dan akan terus mengancam kehidupan manusia. Krisis iklim hanya dipandang sebagai isu ‘tempelan’ dari isu-isu lainnya. Mengingat peran krusial Presiden-Wakil Presiden terpilih dalam pengambilan kebijakan iklim ke depan, masyarakat sipil di Indonesia menuntut agar isu keadilan iklim dibahas secara khusus dalam debat keempat Capres dan Cawapres.

“Krisis iklim wajib masuk dalam debat karena merupakan permasalahan lingkungan hidup terbesar yang dihadapi Indonesia. Kaum muda sebagai pemilih terbanyak harus memprioritaskan isu ini dalam Pemilu karena yang akan merasakan dampak terparahnya hingga di masa depan.” ujar Decmonth Pasaribu dari Extinction Rebellion Indonesia.

Bacaan Lainnya

Di Indonesia, krisis iklim telah memicu terjadinya cuaca ekstrem dan bencana iklim yang berdampak buruk terhadap kehidupan rakyat Indonesia, termasuk diantaranya gagal panen dan memburuknya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kerentanan Indonesia terhadap dampak krisis iklim adalah yang ke-3 tertinggi di dunia (Bank Dunia, 2021). Ancaman kerentanan tersebut mencakup juga kerusakan ekosistem laut dan hilangnya pulau-pulau kecil serta kampung-kampung pesisir di Indonesia. Kegagalan Indonesia mengantisipasi krisis iklim, menurut laporan Sintesis IPCC AR6 akan berdampak pada kerugian ekonomi nasional hingga 7% pada tahun 2100. Pada akhirnya, dampak dari kegagalan menangani krisis iklim mesti ditanggung oleh kelompok rentan yang selama ini berkontribusi paling kecil atas peningkatan emisi gas rumah kaca.

Kendati dokumen visi-misi Capres-Cawapres menyebutkan beberapa kata kunci terkait persoalan krisis iklim, tetapi tidak ada peta jalan (roadmap) yang jelas untuk menyelesaikan akar persoalan dari krisis iklim. Krisis iklim tidak dapat dijadikan isu ‘kedua’ dan haruslah menjadi pembahasan tersendiri karena telah menyebabkan kehilangan, kerusakan dan kerugian yang tidak sedikit dan mungkin tidak dapat dipulihkan bagi rakyat Indonesia. Armayanti Sanusi dari Solidaritas Perempuan menekankan pada keterbatasan akses, kontrol, dan penguasaan terhadap sumber daya membatasi kemampuan masyarakat khususnya kelompok rentan untuk beradaptasi dengan dampak krisis iklim.

“Agenda Politik Feminis Perempuan harus menjadi substansi dalam visi misi dan platform jangka Panjang dari produk politik 2024. Memastikan Gender Action Plan yang berkekuatan hukum dan menjamin akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan masyarakat rentan serta mengakui pengetahuan dan pengalaman perempuan di dalam kebijakan dan aksi aksi iklim yang tidak eksploitatif dan bersumber dari dana utang“, ujarnya.

Pengembangan adaptasi saat ini tidak berorientasi pada ekosistem pulau-pulau dan manusia yang tinggal di dalamnya. Sejumlah proyek bernuansa adaptasi seperti reklamasi pantai justru merusak ekosistem asli yang semestinya dipulihkan bahkan menghasilkan penggusuran. Pembangunan di sektor pangan yang semestinya berorientasi pada mengatasi dampak perubahan iklim yang berbeda-beda pada kepulauan Indonesia, diseragamkan lewat proyek-proyek food-estate. Hal ini justru malah menimbulkan kerentanan baru karena pembukaan lahan yang besar dan monokultur serta berpotensi menimbulkan risiko pada ketahanan dan kedaulatan pangan. Adaptasi semestinya melindungi dampak perubahan iklim melalui ketahanan ekosistem dan keanekaragaman hayati lokal serta melindungi hak komunitas sambil meningkatkan kapabilitas masyarakat lokal agar mampu beradaptasi,” tegas Torry Kuswardono dari Yayasan PIKUL.

Krisis iklim juga memperpanjang ketidakadilan yang sudah ada atau bahkan membentuk ketidakadilan baru melalui upaya mitigasi dan adaptasi yang tidak partisipatif, inklusif, serta berlandaskan solusi-solusi palsu. Satrio Manggala, Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI Eksekutif Nasional menekankan pada pentingnya mendesak komitmen para kandidat capres pada debat ke-IV terhadap aksi iklim yang partisipasif dan inkusif, bukan dengan skema palsu mitigasi iklim.

“Menghentikan solusi palsu yang mengatasnamakan proyek mitigasi perubahan iklim seperti ekspansi tambang nikel yang membabat kawasan hutan. Dalam catatan WALHI, pembukaan kawasan hutan untuk konsesi tambang nikel jumlahnya naik dari kurang lebih 700.000 Ha menjadi 1.000.000 Ha pada tahun 2023. Harusnya solusi yang dijalankan untuk mitigasi perubahan iklim berbasis pada kebutuhan rakyat, dilakukan secara partisipasi dan inklusif.” tegasnya.

Ketidakadilan iklim juga diperparah oleh minimnya regulasi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan iklim terarusutamakan dalam setiap kebijakan, program, dan kegiatan. Masih banyak peraturan yang tumpang-tindih dan belum menjadi jawaban terhadap kerusakan lingkungan, masih mengutamakan kegiatan padat karbon, dan minim dukungan terhadap adaptasi. Para kandidat harus menunjukkan komitmen untuk mewujudkan keadilan iklim, salah satunya melalui pembentukan regulasi dan kebijakan yang menempatkan keadilan iklim sebagai inti.

“Prinsip-prinsip keadilan iklim perlu diarusutamakan dan dimandatkan oleh suatu regulasi yang mendorong distribusi akses dan kelola sumber daya. Sayangnya ini belum menjadi fokus kebijakan dalam visi-misi para kandidat. Oleh karena itu, kebijakan yang berlandaskan keadilan iklim harus menjadi tawaran solusi menangani perubahan iklim karena mencegah pembuatan kebijakan iklim yang bersifat parsial, mengingat perubahan iklim adalah masalah struktural. Adanya Undang-Undang Keadilan Iklim dapat membantu pengambil kebijakan untuk melihat dan mewujudkan prakondisi serta pendukung utama solusi krisis iklim secara berkeadilan seperti akses informasi, akses partisipasi, pengakuan dan perlindungan masyarakat rentan, penguatan penegakan hukum, serta distribusi manfaat di skala lokal.” ujar Syaharani, Peneliti ICEL.

Mengingat pentingnya forum debat para kandidat untuk menyebarluaskan gagasan para kandidat terkait keadilan iklim, kami menuntut kepada KPU:

1. Memasukkan keadilan iklim menjadi tema khusus dalam debat Capres dan Cawapres yang akan dilakukan pada Minggu, 21 Januari 2024.

2. Meminta kepada panelis untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait keadilan iklim sebagaimana tercantum dalam lampiran siaran pers ini dalam debat Capres dan Cawapres pada Minggu, 21 Januari 2024.

Kepada Kandidat Capres dan Cawapres:
1. Menyatakan gagasan dan rancangan kebijakan dan/atau program terkait keadilan iklim dalam debat debat Capres dan Cawapres yang akan dilakukan pada Minggu, 21 Januari 2024.

2. Memastikan keadilan akses, kontrol, dan penguasaan sumber daya sesuai dengan mandat konstitusi sebagai upaya mewujudkan keadilan iklim. Ketimpangan sosial-ekonomi merupakan akar kemiskinan struktural yang memicu terjadinya krisis iklim dan membatasi kemampuan kepada kelompok rentan untuk bertahan dari dampak krisis iklim. Para kandidat perlu menunjukkan dan membuktikan komitmennya dalam menyelesaikan persoalan ketimpangan (tata kelola, distribusi hak, distribusi manfaat dan kesejahteraan, transparansi, hingga pemberantasan korupsi). Para kandidat juga perlu memastikan tidak ada tindakan mitigasi dan adaptasi tanpa mengorbankan wilayah dan menghasilkan rakyat sebagai korban seperti pada kasus rempang dan proyek strategis nasional lainnya.

3. Memastikan pengakuan serta pelibatan secara bermakna Negara khususnya terhadap masyarakat adat, kelompok disabilitas, nelayan, petani, perempuan, anak, dan kaum miskin kota dalam pengambilan keputusan dan kebijakan terkait perubahan iklim.
Masyarakat khususnya masyarakat adat, kelompok disabilitas, nelayan, petani, perempuan, anak, dan kaum miskin kota merupakan kelompok paling tidak diuntungkan dalam krisis iklim dan seringkali memiliki posisi tawar politik yang lemah. Para kandidat harus memastikan bahwa seluruh pihak yang berkepentingan dan paling terdampak memiliki akses terhadap pengambilan keputusan terkait perubahan iklim.

4. Memperkuat kebijakan untuk menangani krisis iklim yang berlandaskan keadilan iklim, keadilan terhadap pekerja, keadilan antar generasi, dan menghindari penggunaan solusi-solusi palsu.
Lemahnya kerangka hukum terkait perubahan iklim serta tidak dipertimbangkannya keadilan iklim memunculkan model ketidakadilan baru dalam penanganan perubahan iklim seperti terlanggarnya hak-hak pekerja dalam transisi energi akibat lemahnya jaminan hak pekerja dan kondisi kerja yang tidak layak. Salah satunya terlihat pada banyaknya kecelakaan kerja di smelter nikel yang menjadi bahan baku baterai (storage). Digunakannya sumber energi skala besar dan masif yang mengakibatkan perampasan tanah, penggusuran paksa, dan deforestasi juga diadopsinya energi padat karbon seperti produk-produk hilirisasi batubara, co-firing, dan energi sampah yang justru meningkatkan dampak dan beban penurunan emisi bagi generasi yang akan datang.

5. Menunjukkan komitmen yang kuat terhadap penegakan hukum lingkungan hidup dan reformasi hukum yang menghambat terwujudnya keadilan lingkungan dan keadilan iklim.
Hingga saat ini, masih banyak industri dan korporasi yang belum patuh terhadap ketentuan perlindungan lingkungan hidup serta belum memiliki rencana penanganan perubahan iklim dalam praktik usahanya. Para kandidat perlu menunjukkan komitmen yang kuat terhadap penegakan hukum kepada entitas yang merusak lingkungan dan tidak mengkriminalisasikan pejuang lingkungan hidup.

Yang menyatakan:
1. Yayasan Pikul
2. ICEL
3. WALHI
4. Solidaritas Perempuan
5. CELIOS
6. Yappika-Action Aid
7. Sendalu Permaculture
8. MADANI Berkelanjutan
9. Climate Rangers Jakarta
10. Koprol Iklim
11. Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Nusantara
12. Extinction Rebellion (XR) Indonesia
13. LaporIklim
14. Kampoeng Tjibarani Bandung
15. Transparency International Indonesia

Pos terkait