Sempat Tuai Kontroversi, Sekjen IDI Jelaskan Makna Satuan Kredit Profesi (SKP) untuk Jaga Quality Control Dokter

Jakarta – Pembahasan mengenai Satuan Kredit Profesi (SKP) para dokter sempat menuai kontroversi karena dianggap sebagai kepentingan tenaga kesehatan semata. Kendati begitu, Sekertaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (Sekjen IDI), dr. Ulul Albab SpOG mengatakan bahwa makna SKP lebih dari itu, melainkan untuk menjaga keselamatan pasien yang ditangani.

SKP merupakan syarat bagi dikeluarkannya Sertifikat Kompetensi untuk melakukan Resertifikasi dan perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan oleh kolegiumnya. Pemenuhan jumlah SKP tersebut dilakukan dalam berbagai kegiatan yang termasuk ke dalam program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) atau continuing professional development (CPD).

Bacaan Lainnya

Dokter Ulul Albab menegaskan, program tersebut sebenarnya bersifat klinis karena berkaitan dengan pelayanan kedokteran serta kegiatan non klinis berupa meneliti hingga manajemen kesehatan. Maka dari itu, SKP pada dasarnya ditujukan untuk dokter agar mampu memberikan pelayanan yang sesuai standard pada masyarakat.

Dokter Ulul menegaskan, SKP menjadi penilaian bahwa sosok dokter yang berpraktik memiliki kredibilitas dan kemampuan yang baik dalam menjaga keselamatan pasien. Sebab pada akhirnya, profesi kedokteran dan tenaga medis sangat terkait dengan nyawa masyarakat yang telah mempercayakan pengobatan terhadap kondisinya.

“Makanya IDI ada tools agar ada quality control yang harus kita jaga. Tanpa itu, pelayanan kita akan down grade,” jelasnya.

Dengan SKP, dokter Ulul juga menjelaskan bahwa para dokter tetap bisa praktik sesuai pengetahuan dan pengalaman di lapangan. Sebab, keahlian dokter akan bertambah seiring banyaknya praktik di lapangan dan bukan sekedar mengikuti seminar atau program dengan teori semata.

“Emang masyarakat mau kalau dokternya tidak ahli? Kalau misalnya saya dokter kandungan, ya. Enggak pernah pegang pisau 10 tahun, terus disuruh nanganin operasi caesar, pasiennya mau enggak? Ya, enggak,” beber dr. Ulul.

Profesi dokter mendapatkan SKP dari kegiatan klinis dan non klinis, salah satunya adalah mengikuti webinar. Dari hal itu, dokter tetap mampu menjaga keahliannya sehingga tujuan menjaga keselamatan serta memberi terapi yang tepat pada pasien akan sukses dilakukan.

“Quality control dokter sangat penting. Makanya dokter nggak boleh berhenti belajar. Belajar saja juga nggak cukup, perlu aplikasikan dengan praktik sehari-hari karena tujuaan SKP (profesi), itu melekat. Tidak semua (dengan gelar dokter) bisa ajukan SKP,” katanya.

Untuk itu, dokter Ulul percaya pengaturan SKP ini akan tetap ada dan tidak mungkin dihapuskan oleh pemerintah. Dengan perjalanan panjang meraih SKP, maka hal itu akan kembali memberi kebaikan bagi masyarakat luas.

“SKP adalah sebuah poin profesi untuk anggota profesinya, IDI memberikan persetujuan SKP melalui proses cukup panjang, mulai dari memperhatikan kualifikasi, akreditasi, verifikasi, latar belakang, dan rekomendasi,” tandasnya.

Sebelumnya, pemerintah mengusulkan agar dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk dokter dan tenaga kesehatan dapat berlaku seumur hidup. Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kemenkes RI drg. Arianti Anaya, MKM menepis bahwa hal tersebut dilakukan sebagai bentuk ‘penyuburan’ pada dikter praktik tanpa kualitas tepat. Ia mengatakan STR seumur hidup bukan berarti menghilangkan pemenuhan kompetensi secara berkala. Syarat kompetensi akan melekat dalam SIP melalui pemenuhan Satuan Kredit Poin (SKP) seperti yang berlaku saat ini sehingga kualitas dokter dan nakes akan tetap terjaga.

“Jadi tidak benar isu yang beredar jika STR seumur hidup akan menyuburkan praktek dokter dukun atau dokter tremor atau dokter abal-abal karena mereka tetap diwajibkan mendapatkan sertifikat kompetensi melalui pemenuhan SKP seperti praktek yang terjadi saat ini,” tuturnya dikutip keterangan pers Kemenkes.

Menurutnya, kualitas tenaga kesehatan akan tetap terjaga melalui sistem pemenuhan kompetensi berkala yang wajib dilalui ketika memperpanjang Surat Izin Praktek (SIP). Sertifikat SIP tersebut yang akan dilakukan perpanjangan setiap 5 tahun sehingga kualitas dokter tetap terjaga.

“Jadi kualitas mereka tetap terjaga. Bedanya sertifikat kompetensi nantinya akan melekat dalam perpanjangan SIP yang berlaku setiap 5 tahun,” ujarnya.

Untuk memenuhi kecukupan SKP, dokter dan tenaga kesehatan harus mengumpulkan SKP dalam jumlah tertentu yang dimasukan ke dalam sebuah sistem informasi (SI) yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Izin praktik baru diterbitkan oleh pemerintah daerah bail Dinkes atau pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) jika dokter dan tenaga kesehatan telah memenuhi kecukupan jumlah SKP tertentu di dalam SI tersebut.

Proses registrasi dan izin praktik pun akan terintegrasi dan terhubung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Poin lain yang disosialisasikan adalah pemerintah pusat dan daerah bersama-sama akan menyusun perencanaan kebutuhan dokter dan tenaga kesehatan di setiap daerah sebagai acuan daerah untuk pemberiaan SIP. Pemberiaan SIP harus mempertimbangkan distribusi dokter dan tenaga kesehatan. Pemerintah bersama stakeholder akan membuat standardisasi pembobotan SKP dan akan ada kemudahan akses pelatihan atau seminar gratis.

Pos terkait