Mengubah Sistem Pemilu Bukan Solusi, Lawan Korupsi & Intoleransi Masih Jadi Fokus

JAKARTA – Upaya gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk mengubah sistem pemilu legislatif dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup, disebut-sebut menjadi hal yang sangat penting. Pasalnya, gugatan itu disampaikan karena sistem proporsional terbuka saat saat ini berlaku dikatakan sudah luar biasa menelan biaya politik yang sangat tinggi, sehingga mengakibatkan transaksi politik yang semakin merajalela.

Mantan Anggota DPR RI, Poempida Hidayatullah menilai, upaya untuk mengubah sistem Pemilu Proporsional Terbuka menjadi Proporsional Tertutup, tidak menjadi solusi bagi perbaikan sistem Pemilu Legislatif di Indonesia. Menurutnya, persoalan inti dalam sistem Pemilu di Indonesia adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

Bacaan Lainnya

“Kalau kemudian pengawasan yang berwibawa dan kemudian menegakkan hukumnya benar gitu orang enggak akan berani curang,” ungkap Poempida dalam acara Diskusi Akhir Pekan Titik Temu, Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN), disiarkan di Jakarta, Sabtu, 15 Juli 2023.

Dalam acara yang dipandu Host Sebastian Salang itu, mantan legislator dari Partai Golkar ini menjelaskan, jika saja ada lembaga pengawasan yang lebih beribawa dan mempunyai basis kekuatan dalam penegakkan hukumnya, maka ia meniai hal itu lebih baik daripada meributkan masalah sistem Pemilihan Proporsional Terbuka atau Tertutup.

“Coba kita punya lembaga pengawasan yang lebih bagus, lebih berwibawa gitu ya, dan mempunyai basis-basis kekuatan di dalam konteks tadi penegakan hukumnya. Saya rasa itu lebih lebih ketimbang kita ngeributin masalah tertutup atau terbuka gitu loh,” terang dia.

Namun demikian, Poempida menegaskan, dirinya bukannya tidak setuju dengan upaya gugatan untuk mengubah sistem pemilihan proporsional terbuka. Menurutnya, itu hal yang sia-sia saja, karena sebetulnya meskipun sisten oemilihan terbuka, tetap saja ada Partai Politik yang di internal Partainya menerapkan sistem Pemilihan tertutup.

“Menurut saya itu hal yang sia-sia saja. Kenapa? Karena sebetulnya kita ribut-ribut untuk apa? Pemilihan terbuka itu enggak berpengaruh karena tetap saja ada calon-calon yang jadi itu bisa digeser yang menangnya yang di bawahnya atau gimana kan bisa. Saya enggak akan ngomong lah partai yang mana, tapi itu memungkinkan,” papar dia.

Jadi, sambung Poempida, sebenarnya terbuka atau tertutup itu bagaimana karakter dari pada partai itu memilih.

“Jadi sebenarnya terbuka tertutup bukan suatu isu yang luar biasa,” tukasnya.

Sementara itu, terkait pragmatisme politisi dan yang dinilai melahirkan politisi korup, Poempida mengatakan, salah satu solusi lainnya dengan transparnsi pengelolaan dana.

“Sekarang kan tranparansi pengelolaan dana parpol itu tidak ada. Sumber dana parpol bisa dari mana-mana, kan tidak jelas,”katanya.

Selain transparansi, lanjut dia, juga pengawasan juga harus lebih jelas. menurutnya,

“Jadi persoalannya bukan karena orang-orang yang korup sja, tapi juga akibat dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” pungkas Poempida.

Bukan hanya soal mengatur dana atau anggaran saja, tapi juga pengawaasan harus lebih jelas.

Lawan Money Politik
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengakui Political Coruption terjadi di Indonesia. Namun begitu, kader PSI selalu diwanti-wanti untuk tidak terjebak pada praktik tersebut.

“Kami tetap fookus pada dua hal utama yakni lawan korupsi, dan lawan Intoleransi,” jelas Calon Legislatif PSI, Koko Dirgantoro, yang juga tampil dalam acara diskusi Titik Temu Rumah Kebudayaan Nusantara.

Dalam diskusi tersebut, ia juga menegaskan pihaknya memperjuangakan agar sistem Pemilihan Proporsional terbuka tetap diberlakukan. Ia menjelaskan, hal tersebut karena sudah menjadi kekuatan PSI ketika kualitas Caleg menjadi penentu dalam penentuan pemenang.

Terlebih lagi, lanjut dia, saat ini komunikasi yang dilakukan oleh PSI dilakukan lebih mengakar ke masayarakat terkait dengan isu pendidikan, kesejahteraan dan lainya.

Ia juga tidak membantah terkait dengan adanya kasus money plitik dan pragmatisme politisi. Namun begitu, ia menegaskan, PSI selalu menjauhkan partai dan para kadernya untuk menghindari hal tersebut.

“Kenyataan terjadi seperti itu. Tapi, kita tidak bisa menafikan kecerdasan masyarakat. Penolakan terhadap money politik itu akan semakin tinggi karena dengan tingginya tingkat pendidikan masyarakat,” tegasnya.

PSI, terang Koko, terus fokus menyiapkan strategi dan menggalang kekuatan dengan melakukan kampanye kepada masyarakat diantaranya dengan strategi serangan udara yakni melalui media sosial.

“PSI itu paling kuat di perkotaan dan saat ini ada 98 kota, karena jadi modal itu kita maksimalkan dulu lewat serangan udara pakai media sosial dengan menyesuaikan dengan konten-konten yang muncnul di media sosial,” terang dia.

Setelah selesai dengan wilayah perkotaan, lanjut dia, barulah masuk ke wilayah kabupaten dan perdesaan yang lebih dalam. Menurutnya, jika seluruh wilayah perkotaan, kabupaten hingga ke pedesaan telah dikuasai, barulah PSI menerapkan strategi yang ia sebut dengan istilah serangan artileri.

“Serangan artileri itu maksud saya dengan memasukkan orang-orang yang berpengaruh ke wilayah sasaran, untuk mengkampanyekan PSI,” ungkapnya.

Sementara itu terkait denan PSI yang memiliki ideologi melawan korupsi meyakini idealisme partai politik tidak akan mempengaruhi terhadap menurunynya dukungan masayarakat terhadap PSI. Menurutnya, masyarakat bisa melihat bagaimana pihaknya akan terus berusaha untuk merealisasikan idealisme tersebut.

Koko Dirgantoro mengatakan, jika ruangnya dibatasi dengan atiran dan pengawasanyang ketat, maka praktik koupsi di kalangan para politisi dapat ditekan.

“Tentunya hal tersbut tidak dapat dilakukan secara instan, tapi saya yakini hal tersebut dapat dilaksanakan meski dengan cara bertahap,” pungkasnya.

Kita sudah mengenal konsep pemberdayaan masyarakat, itu harus terus dikembangkan.

Pemberdayaan Struktur Lembaga
Sementara itu, Pengamat Politik, Andreas Leonardo yang juga hadir sebagai narasumber dalam diskusi akhir pekan Titik Temu mengatakan bahwa konsep pemberdayaan struktur lembaga politik bisa menjadi alternatif solusi dalam mengatasi persoalan pragmatisme politisi. Menurutnya, konsep pemberddayaan masyarakat dalam konteks demokrasi, saat ini harus diimplementasikan dalam strukur lembaga politik.

“Partai politik ini adalah kunci dari keberhasilan capaian tujuannya, dimana para kader nantinya akan ada yang menjadi anggota legislatif atau pejabat publik. Nah, kemampuan merumuskan kebijakan publik, kemampuan mengimplementasikan kebijakan publik itu memang harus dimulai dari input yang baik,” jelas Andreas Leonardo.

Karena itu, lanjut dia, SDM yang ada di Parpol menjadi kunci dalam mengatasi persoalan pragmatisme politisi di Indonesia. Sehingga, kata dia, para politisi ketika mereka sudah lolos masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), mereka akan mengusung visi dan misi partai politik dalam kampanye mereka, sekaligus menyampaikan gagasan yang disampaiaan termasuk mengedapankan apa saja yang akan mereka ditawarkan kepada masyarakat konstituennya.

“Ini saya kira yang dapat melawan pragmatisme politisi yang terjadi sekarang. Namun begitu, ketika visi dan misi menjadi gagasan yang kongkrit, maka tentu perlu pengawasan. Nah disinilah ada peran Parpol, Pemerintah dan Civil Siociety danserta yang lainnya, yang akan menjadi kunci untuk meninggalkan praktik pragmatisme tersbut,” pungkasnya.

Pos terkait