Spiritualisme Pancasila

Oleh: Abdul Ghopur

Pancasila lahir sesungguhnya bukan tanpa dasar sama sekali, melainkan sebaliknya ia sungguh-sungguh mendasari kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita yang sangat majemuk. Termasuk di dalamnya keaneka-ragaman agama dan budaya. Para Pendiri Bangsa (Founding Fathers) sejak awal sangat sadar dengan kondisi sosial (sosiologis) dan kemasyarakatan (antropologis) bangsanya. Hal ini dibuktikan secara nyata oleh mereka ketika merumuskan falsafah bangsa atau dasar negara yang mengakomodir seluruh kepentingan bersama masyarakat. Kepentingan bersama ini menjadi prinsip terdepan untuk membangun persatuan sehingga lahirlah Pancasila (Abdul Ghopur, Pancasila Nalar Bangsa, Dalil dan Dasar Mengapa Harus Berpancasila, Lembaga Kajian Strategis Bangsa, 2022).

Bacaan Lainnya

Silang-sengkarut pendapat bahkan friksi pemikiran yang cukup tajam dan sengit di dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa sungguh tak dapat dihindari. Friksi gagasan dan pemikiran ini terjadi ketika sebagian kalangan Islam ingin memperjelas identitas “keislamannya” di dalam Pancasila sebagai dasar negara. Padahal, sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dirumuskan secara mendalam dan penuh makna oleh KH Wahid Hasyim merupakan prinsip tauhid dalam Islam (Fathoni, Tirakat KH Hasyim Asy’ari saat Mentashih Pancasila, Fragmen, NU Online, 2018).

Akan tetapi, sebagian kalangan Islam memandang bahwa kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak jelas dan tidak tegas sehingga perlu diperjelas dan dipertegas sesuai prinsip Islam (simbolisasi syariat Islam). Akhirnya, Soekarno bersama anggota pantia Sembilan lainnya yang bertugas merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 mempersilahkan sebagian kalangan Islam tersebut untuk merumuskan mengenai sila Ketuhanan.

Selang beberapa hari, tepatnya tanggal 22 Juni 1945 dihasilkanlah rumusan sila Ketuhanan yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalimat itu dikenal sebagai rumusan Piagam Jakarta. Rumusan tersebut kemudian diberikan kepada panitia sembilan. Di kemudian hari tentu saja bunyi tersebut tidak bisa diterima oleh orang-orang Indonesia yang berasal dari keyakinan yang berbeda, terutama perwakilan dari Indonesia bagian timur.

Sila pertama Pancasila ini ternyata menjadi persoalan yang sangat pelik dalam perumusan falsah dan dasar negara. Soekarno selaku ketua panitia Sembilan pun menyadari hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang dapat “memuaskan” (win-win solution) semua pihak. Untuk menemukan “jalan tengah” akhirnya Soekarno menyerahkan keputusan dan persoalan pelik tersebut kepada Hadratussyeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (sosok ulama senior Nusantara nan masyhur) agar mendapatkan pertimbangan dan menilai, mencermati serta memeriksa kebenaran (mentashih) apakah Pancasila 1 Juni 1945 sudah sesuai dengan syariat dan nilai-nilai ajaran Islam atau belum.

Saat itu, rombongan yang membawa pesan Soekarno tersebut dipimpin langsung oleh KH Wahid Hasyim yang menjadi salah seorang anggota tim Sembilan perumus Pancasila. Mereka menuju Jombang, Jawa Timur, untuk menemui (sowan) kepada Hadratussyeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Sesampainya di sana, KH. Wahid Hasyim yang tak lain adalah anak Hadratussyeikh sendiri melontarkan maksud kedatangan rombongan.

Setelah mendengar maksud kedatangan rombongan, Sang Hadratussyeikh tidak langsung memberikan keputusan. Prinspinya, Sang Kyai memahami bahwa kemerdekaan adalah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan perpecahan merupakan kerusakan (mafsadah) sehingga dasar negara harus berprinsip menyatukan semua.

Untuk memutuskan bahwa Pancasila sudah sesuai syariat Islam atau belum, Kyai Hasyim Asy’ari melakukan tirakat (pendekatan diri kepada Allah Swt.). Di antara tirakat Kyai Hasyim Asy’ari ialah puasa tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau meng-khatamkan Al-Qur’an dan membaca surat Al-Fatihah. Setiap membaca surat Al-Fatihah dan sampai pada ayat iya kana’ budu waiya kanasta’in (hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan), Kyai Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari, Kyai Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah dua rakaat. Rakaat pertama beliau membaca surat At-Taubah sebanyak 41 kali, sedangkan rakaat kedua membaca surat Al-Kahfi, juga sebanyak 41 kali. Kemudian beliau istirahat tidur. Sebelum tidur Kyai Hasyim Asy’ari membaca ayat terkahir dari surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali (KH. Ahmad Muwafiq, Putuskan Pancasila Sesuai Syar’i, KH Hasyim Asy’ari puasa 3 Hari dan Khatamkan Fatihah 350.000 Kali, www.dutaislam.com, 2018).

Paginya, Kyai Hasyim Asy’ari memanggil anaknya KH. Wahid Hasyim dengan mengatakan bahwa Pancasila sudah benar secara syar’i (sesuai syariat Islam). Sehingga, apa yang tertulis dalam Piagam Djakarta (redaksi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak perlu dicantumkan (maktub-kan), dengan kata lain dihapus saja, karena kata: “Ketuhanan Yang Maha Esa” sudah sangat mewakili prinsip ketauhidan dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam tetap mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah pula, ketika orang Indonesia yang beragama Islam menjalankan Pancasila (secara murni dan konsekuen) sama artinya sedang menjalankan atau mempraktikan syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara.

Oleh sebab itu, seluruh umat Islam Indonesia bukan hanya saja wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila. Jika saat ini ada sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa dikatakan dengan tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya pondasi dan dasar negara ini. Dus, Sila-sila lain yang termaktub dalam sila ke-2 (dua) hingga sila ke-5 (lima) juga sudah sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ajaran Islam. Karena ajaran Islam juga mencakup kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Atas ikhtiar lahir dan batin Kyai Hasyim Asy’ari tersebut, akhirnya rumusan Pancasila bisa diterima oleh semua pihak dan menjadi pemersatu bangsa dan dasar kita berbangsa dan bernegara hingga saat ini.

Peran KH. Wahid Hasyim (yang atas tuntunan Hadratussyeikh) bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan jiwa seluruh bangsa Indonesia. Itulah visi besar dan misi yang dibawa oleh para pemimpin bangsa agar dasar negara merupakan pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan hanya Islam yang merupakan umat mayoritas.

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)

Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)

Referensi:
Abdul Ghopur. 2022. Pancasila Nalar Bangsa, Dalil dan Dasar (Mengapa) Harus Berpancasila. Jakarta. Lembaga Kajian Strategis Bangsa. Hlm 61.
Fathoni. 2018. Tirakat KH Hasyim Asy’ari saat Mentashih Pancasila. Jakarta. Fragmen. NU Online.
KH. Ahmad Muwafiq. 2018. Putuskan Pancasila Sesuai Syar’i, KH Hasyim Asy’ari puasa 3 Hari dan Khatamkan Fatihah 350.000 Kali. Jakarta. www.dutaislam.com.

Pos terkait