YOGYAKARTA – Center for Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA) terus melakukan upaya literasi seksual kepada generasi muda Indonesia agar bisa memahami situasi dan dampaknya.
Hal ini karena pendidikan seksual untuk memperkaya literasi para generasi muda, khususnya generasi Z tersebut masih dianggap sesuatu yang tabu.
“Sedangkan dalam kurikulum yang selama ini dilaksanakan, pendidikan seksual tidak diberikan dan dipersiapkan dalam suatu mata pelajaran khusus,” kata President CIMSA 2022/2023, Tasya Nabiila Edlin dalam konferensi pers CIMSA berkaitan dengan pendidikan seksual komprehensif di Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Jumat (17/2).
Ia mendorong agar pendidikan seksual bisa dilakukan secara komprehensif dan tetap menggunakan batasan-batasan tertentu sesuai dengan usia para peserta didiknya.
“Materi pendidikan seksual komprehensif yang diberikan juga perlu disesuaikan dengan usia penerimanya,” ujarnya.
Apalagi berdasarkan riset yang mereka paparkan, yakni data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun
2017, setidaknya 2% remaja perempuan dan 8% remaja laki-laki Indonesia usia 15-24 tahun mengaku telah
melakukan hubungan seksual sebelum menikah, dengan 11% di antaranya mengalami Kehamilan Tidak
Diinginkan (KTD).
Selain itu, data tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta per tahunnya dengan 20%
di antaranya dilakukan oleh para remaja.
Di samping itu, CIMSA juga bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
untuk ikut terlibat di dam menyelesaikan kasus-kasus HIV/AIDS pada tahun 2030, pendidikan seksual merupakan upaya edukasi,
penerangan, dan penyadaran kepada masyarakat mulai dari kesehatan hingga tanggung jawab terhadap
perilaku seksual.
Menjadi salah satu isu yang terus bergulir, permasalahan kesehatan seksual menarik fokus dari berbagai
pemangku kebijakan, salah satunya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia, yang menetapkan regulasi terkait ranah anak dan orang tua, seperti program Pusat
Pembelajaran Keluarga untuk orang tua yang belum memahami cara memberikan pendidikan seksual
kepada anak.
Implementasi program pendidikan seksual yang dinilai belum optimal, integratif, dan
komprehensif menjadi satu hal yang melatarbelakangi CIMSA untuk melakukan kajian terkait
pendidikan seksual komprehensif yang selanjutnya disusun menjadi panggilan bertindak bagi pemangku kepentingan.
Oleh sebab itu, Nabiila mendorong agar kesadaran tentang pentingnya literasi seksual ini bisa dipahami dan disikapi dengan baik oleh semua pemangku kepentingan dan dunia pendidikan di Indonesia.
Sehingga, data-data yang cukup menakutkan bagi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia tetap bisa diperbaiki.
“Sudah saatnya masyarakat Indonesia menghilangkan kata tabu dan mengupayakan pendidikan seksual komprehensif yang disampaikan secara harfiah sehingga diharapkan dapat menurunkan angka
kekerasan seksual, aborsi, dan pernikahan dini,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Community of Practice Officer Siklus Indonesia, UNALA Putri Khatulistiwa memberikan penekanan tentang pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi (Kespro) kepada para remaja Indonesia.
Sebab, kaum remaja sudah mulai bisa mengenali semua bagian tubuh mereka sendiri, termasuk alat reproduksi. Maka dari itu, literasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan reproduksi harus diberikan kepada mereka sedini mungkin.
“Pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif menjadi salah satu strategi untuk merespons tantangan remaja yang mulai mengenali tubuhnya, identitasnya dan hubungannya dengan orang lain,” kata Putri.
Lalu, ia juga memaparkan bahwa lingkup pembelajaran Kespro sendiri melintasi siklus hidup manusia, artinya dari seseorang masih di dalam
kandungan hingga lansia, sangat relevan dengan informasi yang diberikan di dalam pendidikan ini.
Selain itu
kata Putri, dengan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif maka akan berkontribusi dalam perubahan
pengetahuan, sikap dan perilaku remaja.
“Salah satunya remaja mulai menyadari perubahan perubahan
yang terjadi terkait kesehatan reproduksinya dan mau mengakses layanan kesehatan, layanan konseling
serta layanan perlindungan hukum jika menjadi korban kekerasan seksual,” paparnya.