Demokrasi Oligarki

Oleh: Abdul Ghopur

Dunia mengakui dan mencatat bahwa Indonesia adalah negara paling demokratis di dunia. Dengan populasi penduduk ± 270 juta jiwa, dengan keragaman suku, adat-istiadat, ras dan agama (SARA), bahasa, budaya serta kearifan-kearifan dan kebiasaan lainnya, penyelenggaraan pemilu presiden (Pilpres) dan pemilu legislatif (Pileg) serempak di Indonesia ± 2 (dua) dekade belakangan ini hampir tidak meinmbulkan gejolak apa pun yang berarti. Sayangnya demokrasi kita masih bersifat simbolis serta formal-legalistik, masih berkutat pada demokrasi yang amat prosedural. Demokrasi kita belum menyentuh akar dan belum menemukan pemaknaan yang jelas (substantif) tentang apa yang dimaksud dengan demokrasi itu sendiri.

Bacaan Lainnya

Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa demokrasi dengan segala hiruk-pikuk dan mekanismenya adalah suatu tujuan akhir. Asal sudah terpenuhi syarat-syaratnya secara formal-prosedural maka dianggap itu sudah demokratis. Demokrasi model ini tak ubahnya “ritual” perayaan atau sering disebut pesta demokrasi. Parahnya, yang disebut dan dimaksud pesta demokrasi itu diasumsikan sebatas pada saat berlangsungnya Pemilihan Umum (Pemilu), baik Pilpres atau pun Pileg/Pilkada. Karena Pilpres atau Pileg diasosiasikan oleh sebagian masyarakat kita sebagai “ladang rejeki” 5 (lima) tahunan.

Timbullah adagium, “asal ada uang urusan jadi gampang, asal ada fulus urusan jadi mulus.” Dari sinilah timbul istilah politik atau demokrasi transaksional. Asal punya banyak uang, seseorang bisa menjadi apa saja yang dia inginkan. Dia bisa menjadi anggota dewan, bupati, walikota, gubernur bahkan presiden, asal banyak uang. Orang tidak lagi melihat pentingnya kapasitas dan kecakapan diri seorang figur yang dipilihnya, bahkan tidak penting itu integritas yang harus dimiliki seorang pemimpin. Sebaliknya, sang figur tidak sadar diri-sadar posisi apakah Ia layak dijadikan pemimpin rakyat atau tidak? Apakah Ia memiliki karakter seorang pemimpin atau tidak? Ya, pokoknya jadi tokoh.

Dengan cermin dan model demokrasi serta pemimpin yang seperti ini, apa yang dapat kita harapkan? Apakah kita layak berbangga mendapat julukan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia yang paling demokratis? Saya kira kita perlu berpikir ulang dam membenahi, mengevaluasi serta mengoreksi total demokrasi dan sistem perpolitikan kita yang berlangsung dewasa ini. Kita harus sadar se-sadar-sadarnya, bahwa di samping demokrasi politik, di situ juga harus ada demokrasi ekonomi, dan demokrasi di pelbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.

Sesungguhnya kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Ada istilah demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi kerakyatan, demokrasi proletar, demokrasi Soviet, demokrasi Pancasila bahkan demokrasi terpimpin dan sebagaianya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi, yang artinya: “Rakyat Kuasa” atau “Government or ruled by the people.” Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) “kekuasaan rakyat” (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik), yang tersusun dari dua suku kata: δῆμος (dêmos) yaitu “rakyat” dan κράτος (kratos/kratein) (Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon) yaitu “kekuatan” atau “kekuasaan” pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena.

Kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) “kekuasaan elit” (J Henderson, Comic Hero versus Political Elite, 1993). Secara teoritis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, tetapi kenyataannya sudah tidak jelas lagi (N.G Wilson, Encyclopedia of ancient Greece, 2006). Sistem politik Athena Klasik misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi adalah bentuk atau sistim pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya (pemerintahan rakyat). Dengan kata lain, demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Singkatnya, demokrasi adalah sistem pengorganisasian masyarakat negara yang dilakukan oleh masyarakat sendiri atau dengan persetujuan masyarakat, di mana keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (YME) diakui, ditata, dan dijamin atas dasar gagasan kenegaraan tertentu. Secara umum demokrasi mengandung beberapa aspek, yaitu aspek formal, material, normatif, organisasi, optatif, dan aspek jiwa (H. Amirmachmud, Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia, 1986).

Dengan demikian, negera modern dan pemerintahan yang demokratis adalah suatu sistem pemerintahan-kenegaraan yang dapat menjamin dan memastikan hak-hak masyarakat secara demokratis di pelbagai lini kehidupan. Sehingga, negara dan pemerintahan yang demokratis adalah yang mampu menjamin dan memastikan sektor-sektor kehidupan masyarakat (civil society) berjalan secara adil dan demokratis dengan sektor swasta (ekonomi pasar).

Dalam suatu tesisnya, Juan J. Linz dan Alfred Stepan (2001) menyebutkan, belum pernah ada, dan hampir pasti tidak mungkin ada, negara demokratis-modern yang terkonsolidasi dengan rezim ekonomi pasar murni. Sebab, setelah penguatan masyarakat sipil, pelembagaan masyarakat politik, pengutamaan hukum, pengefektifan birokrasi, fase kelima dari konsolidasi demokrasi adalah pelembagaan masyarakat ekonomi. Artinya, ketika ide demokrasi telah diwujudkan, fase berikutnya adalah mensejahterakan rakyat.

Konsep sejahtera sendiri memerlukan pemaknaan yang lebih riil melebihi kebutuhan akan kebebasan politik. Artinya, harus ada keniscayaan bahwa kewajiban utama konsolidasi demokrasi di masa transisi dan disrupsi adalah menciptakan “akselarasi kesejahteraan.” Meskipun, pada masa transisi kita tetap membutuhkan kestabilan politik dan keamanan, tetapi tidak melulu menyerahkan stabilitas politik pada militer. Melainkan suatu upaya bersama yang akan memberikan kenyamanan umum bagi seluruh kegiatan produktif di pelbagai lapisan sosial. Di sini produktivitas dan kegairahan kerja dapat ditingkatkan serta kepastian menikmati hasilnya bisa dicapai.

Pengaruh positifnya, seperti yang kita rasakan, adalah pertumbuhan dan akumulasi hasil kerja yang terjadi hampir serempak, bukan saja di pelbagai golongan masyarakat, melainkan juga antar daerah. Kendati tentu banyak hal harus ditingkatkan, stabilitas politik dan keamanan itu seakan-akan berfungsi sebagai lapisan udara, dengan apa masyarakat secara bersama (bukan individual) bernafas mempertahankan hidup.

Namun, melihat fenomena global negara-negara di berbagai belahan dunia, kini justru terpuruk pada ekonomi yang sangat rendah. Dus, hampir tiga tahun dilanda pandemi covid-19 makin menambah beban dan perlambatan (jika tidak ingin dikatakan kehancuran) ekonomi global. Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi ekonomi yang ditempuh banyak pemerintahan hasil pemilu (yang liberal) “demokratis” di dunia (terutama negara dunia berkembang), belum menghasilkan masyarakat sejahtera. Kegagalan ini dikarenakan mereka masih “berpusing-pusing” menikmati dan memperpanjang transisi serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat, politisi dan saudagar politik yang menjauhi rakyat. Para tekhnokrat ini menjalankan negara dengan landasan ideologi neoliberal yang terlalu mengandalkan utang luar negeri, menggantungkan diri pada lembaga ekonomi asing dan beriman pada ekonomi pasar.

Para tekhnokrat ini melupakan ekonomi domestik, menjual badan usaha milik negara dengan murah, mengobral sumber daya alam dan swasembada masyarakat secara sembrono dan membenci produk dalam negeri mereka. Padahal, mengutip Juan J Linz dan Alfred Stepan (2001) serta Johan Norberg (Membela Kapitalisme Global, 2001), ada tiga alasan suatu negara yang sedang transisi untuk menjauhi madzhab neoliberal, pertama, sehebat apapun ideologi neoliberal, mereka masih memerlukan negara untuk berperan mensahkan seluruh transaksi ekonominya. Kedua, bahkan pasar yang paling hebat sekali pun pasti mengalami kegagalan-kegagalan pasar yang selalu harus dikoreksi agar ia berfungsi secara baik dalam rangka penyejahteraan masyarakatnya. Ketiga, demokrasi menuntut persaingan bebas yang berpijak pada prioritas sekelompok kecil elit kaya raya (oligarki), bukan berprioritas pada masyarakat banyak.

Inilah prinsip dasar kapitalisme yang membungkus wajahnya dengan “topeng manis” globalisasi dan demokrasi dengan prinsip efisiensi dan efektifitas, yang hanya menekankan pertumbuhan semata, bukan pemerataan (Samuel P Hutington, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta, 2001, hal. 6). Lagi-lagi, konsekuensi logisnya adalah pengabaian atas kesejahteraan umum, karena bertolak belakang dengan prinsip dasar kapitalisme global. Inilah wajah sesungguhnya kapitalisme berselubung “globalisasi–demokratisasi” yang memperanakan neoliberalisme (kebebasan tak bertanggungjawab/kebablasan).

Artinya, meskipun pemerintahan dipilih secara demokratis, tetapi bila ia menabrak konstitusi, melanggar hak individu dan minoritas (ekonomi under level), tidak mematuhi hukum serta tidak memberikan peningkatan pemenuhan hak dasar masyarakat dan pemerataan ekonomi rakyat, maka pemerintahan itu tidak layak disebut pemerintahan demokratis. Sebaliknya, hanya layak mendapat julukan sebagai pemerintahan seolah-olah demokratis (pseudo-demokratis), bahkan Olle Tornquist (1999) menyebutnya “demokrasi kaum penjahat rakyat.”

Setelah proses pemilu (liberal) ”ter-demokratis” dilewati, para politisi, saudagar, dan belitan utanglah problem lanjutannya yang masyarakat terima. Politisi saudagar, mempertajam model politik perdagangan yang menakar kemenangan berdasarkan hukum untung-rugi semata, tanpa peduli pada nasib rakyatnya. Politisi saudagar menguatkan negara kapling yang diwarisi oleh rezim-rezim otoritarianisme. Inilah politisi yang gagal memahami pesan dasar para pendiri negaranya dan gagal menyejahterakan rakyat banyak, karena gagal memahami politik utang. Padahal, politik utang di luar politik yang lain adalah sumber malapetaka negara-negara post-kolonial.

Memahami politik utang, sebagai upaya bagi pemecahan problem negara-bangsa post-kolonial, menjadi tugas maha penting. Karena Noreena Hertz (2001) mengatakan bahwa akibat globalisasi ekonomi, akan terjadi the death of democracy. Demokrasi sebagai konsep sederhana yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akan berubah haluan menjadi dari rakyat, oleh elit, untuk “para investor kapitalis.” Apa buktinya? Para pemimpin negara-bangsa post-kolonial saat ini, demikian kata Hertz, memang dipilih oleh rakyat, tetapi mereka ternyata lebih sibuk untuk “melayani” kapitalis global yang tidak memilihnya. Sebab, para pemimpin negara-bangsa post-kolonial, walau masih memperhitungkan para pemilih dalam negeri (domestic constituent), tetapi justru demi untuk mengelabui para konstituen inilah para pemimpin akan melakukan apa saja, asal para kapitalis yang telah mengglobal itu mau datang menanamkan (invetasi) modal di negaranya.

Dengan puspa ragam upaya, para pemimpin negara-bangsa post-kolonial mengundang, merayu untuk mendatangkan investor kapitalis agar menanamkan saham dan uangnya di negara yang ia pimpin. Tentu saja para pemimpin negara-bangsa post-kolonial bersaing dengan sengit karena para investor kapitalis hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka. Kemudian, dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (borderless economics), pemerintahan nasional tidak lebih dari sekedar the transmission belts bagi investor kapitalis, atau sebagai institusi perantara yang menyisip di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta terhimpit di antara mekanisme pengaturan global. Pada akhirnya, negara menjadi “daerah omong kosong,” pemimpin negara-bangsa post-kolonial menjadi “budak kapitalisme,” pemerintahan nasional menjadi “mitra manis,” dan rakyat menjadi tumbal para pemilik modal yang mengglobal, para kapitalis yang mendunia, cukong yang menguasai jagat raya. Ironis!

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)

Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)

Referensi:
Prof. Miriam Budiardjo. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Henry George Liddell & Robert Scott. A Greek-English Lexicon. at Perseus.
S. Halliwell, J. Henderson, B. Zimmerman. 1993. Tragedy, Comedy and the Polis. Comic Hero versus Political Elite. Bari. Levante Editori.
N.G Wilson. 2006. Encyclopedia of ancient Greece. New York. Routledge.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi Keempat. 2011. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
H. Amirmachmud. 1986. Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia. Jakarta. PT Gramedia.

Pos terkait