Jakarta – Sering terjadinya kejahatan kekerasan seksual terhadap santri yang dilakukan oleh oknum di pondok pesantren atau adanya pondok pesantren yang menjadi tempat pengkaderan teroris dan kelompok intoleran anti Pancasila dan NKRI, memunculkan istilah pseudo pesantren.
Pseudo pesantren diartikan dengan pesantren palsu. Terhadap pseudo pesantren atau pesantren palsu inilah masyarakat harus waspada, harus jeli dan tahu ciri-cirinya yang membedakan dengan pesantren yang sebenarnya sehingga tidak memasukkan anaknya, saudaranya atau orang lain ke pseudo pesantren atau pesantren palsu ini dan pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Agama, bisa menindaknya dengan tidak memberikan izin operasional atau jika sudah terlanjur memberikan izin, izinnya dicabut, memberikan sanksi dan lain-lain. Pseudo pesantren adalah lembaga pendidikan mana saja yang mencantumkan nama pesantren atau pondok pesantren di dalam akte yayasannya atau papan namanya, tetapi dalam konsep dan praktiknya bukan pesantren yang sebenarnya.
Namun, dengan adanya istilah pseudo pesantren ini memunculkan diskursus untuk melakukan upaya otentikasi dan validasi kembali terhadap pondok pesantren-pondok pesantren yang ada di Indonesia dengan melihat dan mengkritisi isi dari UU Pesantren dan peraturan turunannya dalam upaya menjaga marwah, nama baik pondok pesantren itu sendiri. Karenanya, Pengurus Wilayah Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PW RMI NU) DKI Jakarta Mengadakan Seminar yang berbentuk Focus Group Discussion yang membahas tentang Pseudo Pesantren Ini.
KH. Rakhmad Zailani Kiki Selaku Pimpinan PW RMI NU DKI Jakarta menilai mengusulkan adanya istilah pseudo pesantren untuk mengisi kekosangan istilah yang selama ini membuat nama pesantren menjadi tercermar dan untuk menghindari terjadinya peyorasi, yaitu pergeseran makna positif ke makna negatif dari pesantren atau terjadinya asosiasi negatif dari arti pesantren.
“Atas nama PW RMI-NU DKI Jakarta, saya mengusulkan adanya istilah pseudo pesantren untuk mengisi kekosangan istilah yang selama ini membuat nama pesantren menjadi tercermar dan untuk menghindari terjadinya peyorasi, yaitu pergeseran makna positif ke makna negatif dari pesantren atau terjadinya asosiasi negatif dari arti pesantren.” jelasnya.
Pesantren yang merupakan tempat pembinaan moral, benteng moral dan sebagai tempat pembinaan paham Islam yang moderat, toleran, berpegang teguh kepada Pancasila dan bagian dari penjaga keutuhan NKRI menjadi bergeser ke makna negatif, yaitu sebagai tempat melakukan tindakan asusila, kekerasan seksual dan tindakan melawan hukum lainnya dan sebagai tempat untuk mengajarkan paham keislaman yang sesat, intoleran, tempat kaderisasi teroris yang anti Pancasila serta anti NKRI
Pesan dari Seminar Pseudo Pesantren yang dilakukan oleh Pengurus Wilayah Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PW RMI NU) DKI Jakarta adalah nantinya kita sebagai Orang Tua harus teliti dan waspada dalam memilah dan memilih dimana nantinya para anak-anaknya menuntut ilmu, jangan sampai yang sebelumnya berharap sang anak menuntut ilmu di Pesantren untuk hal-hal yang baik, yang didapat justru sebaliknya, yaitu mendapat pembelajaran tentang paham Radikalisme dan Intoleransi.
“Besar harap saya nantinya kita sebagai Orang Tua harus teliti dan waspada dalam memilah dan memilih dimana nantinya para anak-anaknya menuntut ilmu, jangan sampai yang sebelumnya berharap sang anak menuntut ilmu di Pesantren untuk hal-hal yang baik, yang didapat justru sebaliknya, yaitu mendapat pembelajaran tentang paham Radikalisme dan Intoleransi” pungkas KH. Rakhmad Zailani Kiki.