JAKARTA – Pengamat Politik Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto angkat bicara terkait polemik IKN yang saat ini menyita perhatian publik tanah air.
Direktur Eksekutif SDR itu memandang bahwa IKN jika dilihat dari sudut sejarah pernah terjadi perpindahan, bahkan Yogyakarta pernah menjadi IKN pada tahun 1946. Dan saat ini keputusan telah diambil dan disepakati oleh Presiden (Eksekutif) dan DPR RI (Legislatif) dengan mensahkan UU IKN.
“Tentunya UU IKN ini mengikat pemerintah dan seluruh pihak untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur, bersifat wajib meski terjadi pergantian pemerintahan pada 2024 dan seterusnya,” ungkap Hari, hari ini.
Namun, kata dia, perlu menjadi catatan bahwa pemindahan IKN perlu anggaran yang cukup besar. Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa, “untuk membangun ibu kota baru setidaknya dibutuhkan dana sebesar 35 miliar dolar AS (sekitar Rp 501 triliun)”.
Tentunya pembiayaan IKN diperlukan skema jitu yang tidak mengandalkan APBN, apalagi pandemi virus belum berakhir.
“Tentunya ini menjadi tantangan diakhir kepemimpinan Jokowi bila Mega proyek IKN sesuai rencana dan Jokowi akan dikenang sebagai Presiden yang sukses memindahkan IKN dengan segala resiko dimasa pandemi virus global,” bebernya.
Soal penolakan IKN dari parpol PKS, Hari menilai hal itu sah-sah saja, akan tetapi ketika sudah disahkan menjadi UU tentunya PKS jika partainya mengaku berideologi Pancasila harus siap menerima jika dalam lobby kalah.
“Politik itu dinamis dan PKS jangan seperti kanak-kanak. Menolak harusnya sejak awal saat menjadi RUU tapi bila sudah diputuskan menjadi UU maka semua orang wajib tunduk dan taat terhadap UU kalau mau menjadi bagian dari berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” pungkasnya.