Soal Kenaikan UMP dan UMK, KSBSI Dorong Untuk Disikapi Bijaksana

IMG 20220215 WA0036

JAKARTA – Perkembangan permasalahan upah buruh saat ini, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) meminta agar kenaikan Upah minimum Kabupaten/Kota untuk tahun 2022 disikapi secara bijak oleh Pemerintah mengingat sudah dua tahun ini tidak ada kenaikan UMK/ Kota.

KSBSI beberapa kali ikut menghadiri rapat di Mahkamah Konstitusi dalam rangka membahas Undang- Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 namun pihaknya mengikuti pembahasan pasal-pasal yang di ajukan masih dikaji dan dipertimbangkan.

Bacaan Lainnya

Menyikapi adanya tuntutan dari buruh terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materiil Undang- Undang Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020, pihak KSBSI tetap akan mengikuti proses karena sebenarnya pihak Perusahaan terhadap kenaikan UMP maupun UMK tidak terlalu bermasalah karena para serikat telah melakukan pertemuan dengan Apindo dan mereka tidak masalah.

“Yang dipermasalahkan sekarang ini adalah adanya keputusan yang diambil Pemerintah khususnya dalam pengambilan keputusan untuk penetapan besaran Upah Minimum yang tidak didasarkan pada Kebutuhan PP nomor 36 tahun 2020 dan data statistik melainkan didasarkan pada hasil Survei dilapangan dan PP No 78 tahun 2015 tentang pengupahan,” ungkap Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban, 15 November 2021.

Menurutnya, penetapan upah minimum di beberapa Provinsi yang sudah keluar besaran angkanya, dirasakan tidak adanya keadilan karena kenaikan dipukul rata. Mengingat bahwa saat pandemi tidak semua sektor usaha terdampak, namun ada juga sektor usaha yang justru tumbuh saat pandemic, seperti misalnya pertambangan, pertanian, rumah sakit, farmasi, komunikasi, sedangkan untuk yang terdampak seperti hotel, pariwisata, transportasi, otomotif, kena dampak jumlah kenaikannya kok sama 1 persen, hal inilah yang membuat serikat kurang menerima.

KSBSI pun meminta agar perusahaan dalam memberikan besaran upah kepada karyawannya disesuaikan dengan ketentuan dan masa kerja karena sampai saat ini masih ditemukan adanya perusahaan yang memberikan upah kepada pekerjanya dengan besaran upah minimum meski telah bekerja lebih dari setahun.

“Sedangkan upah minimum ditujukan hanya bagi pekerja dengan masa bekerja di bawah 12 bulan, tetapi pelaksanaan di lapangan akan menjadi bagi semua buruh walaupun 15 tahun atau lebih,” jelasnya.

Dikatakannya, ancaman akan mencopot Pemda apabila melakukan pelanggaran /tidak taat dengan SE Menaker juga dinilai kurang tepat karena Pemda/Gubernur lebih mengetahui tingkat perekonomian daerah.

Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum bagi pelanggaran implementasi upah minimum di lapangan. Saat ini penegakkann hukum bagi perusahaan yang melanggar masih belum maksimal sehingga perusahaan masih sering kali mengabaikan hak-hak normative buruh.

“Penerapan penghitungan upah minimum dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dirasakan sangat merugikan butuh karena penghitungan tersebut tidak didasarkan pada KHL namun berdasarkan pada data statistik dari kantor pusat,” pungkasnya.

Pos terkait