JAKARTA – Perkembangan radikalisme hingga terorisme di Indonesia masih menjadi ancaman serius, terutama di tengah perkembangan arus informasi dan teknologi yang tidak dapat dibendung. Para pelaku teror maupun radikal agama seringkali memanfaatkan teknologi untuk menyebar aksi hingga melakukan perekrutan kepada jaringan baru, yang mayoritas menyasar pada generasi muda atau milenal. Hal tersebut menjadi pembahasan dalam acara Velox Today dengan tema “Literasi Digital, Mewaspadai Radikalisme dan Terorisme Lewat Internet pada Generasi Muda” pada 10 Desember 2020. Membuka pembicaraan, Mantan Jurnalis Terorisme yang saat ini menjabat Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi, Dr. Asrori S Karni, M.Si menyampaikan bahwa radikalisme dan terorisme merupakan hal yang berbeda, namun dapat beriringan. Radikalisme diartikan sebagai cara pandang oleh seseorang atau kelompok yang menganggap dirinya sendiri paling benar, paling hebat, sehingga pihak-pihak lain di luarnya layak untuk dimusuhi. “Meskipun terdapat muatan intoleran serta caci maki, namun pada umumnya radikalisme masih bisa dikelola,” katanya.Sementara itu, kata dia, terorisme merupakan tindakan lebih lanjut dari radikalisme yang didalamnya telah mengandung unsur-unsur ancaman dengan tujuan menebar ketakutan. Oleh karena itu pada era saat ini banyak pihak yang kemudian lebih suka menyebutkan dengan istilah radikal terorisme. Lebih lanjut, Asrori menyampaikan bahwa perkembangan aksi radikalis terorisme di Indonesia disebabkan oleh dua hal, pertama yakni kegairahan atau kebutuhan keagamaan masyarakat yang tinggi, baik disebabkan oleh rasa keingintahuan ataupun penyesalan sehingga mudah menerima informasi dari siapapun yang ia anggap lebih mengetahui. Penyebab kedua yakni adanya reformasi perjuangan melawan ketidakadilan. Untuk dapat melawan perkembangan radikal terorisme, perlu dilakukan upaya komprehensif dengan semua pendekatan, baik penanganan kuratif bagi pihak yang terpapar, pendekatan pada keagamaan, ekonomi, serta memasifkan penyebaran konten untuk melawan radikalisme dengan memanfaatkan dunia digital. “Namun demikian, upaya-upaya tersebut harus terus diupdate karena perkembangan terorisme juga selalu berkembang,” lanjut Asrori.Ditempat yang sama, Budayawan, Dr. Ngatawi S.Ag., M.Si., menyampaikan hal terpenting dalam melawan terorisme adalah membuat pagar hati, karena upaya penyadaran harus menyentuh hati agar tidak sia-sia. Hal ini dikarenakan serangan terorisme yang tidak hanya berdampak pada fisik dan pikiran, namun juga pada hati. Lebih lanjut, Ngatawi menyampaikan bahwa UU ITE yang ada di Indonesia sudah menjadi upaya penting yang dilakukan pemerintah dalamrangka pembatasan secara legal penyebaran konten yang sengaja dimuat oleh kelompok teroris dengan memanfaatkan sosial media.Melihat penanganan terorime di Indonesia, Asrori menyampaikan bahwa penanganan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah termasuk salahsatu yang terbaik karena hampir semua kasus terorisme mulai dari Bom Bali hingga kasus penusukan dapat terpecahkan. Sementara di negara lain seperti Australia, masih banyak kasus terorisme yang belum terpecahkan. Asrori bahkan optimis bahwa ke depan pengungkapan maupun pencegahan terorisme di Indonesia dapat lebih baik. Hal ini sejalan dengan hasil survey Alvara yang menyatakan bahwa generasi milenial Indonesia saat ini cenderung lebih kritis dalam menerima informasi digital, tidak seperti generasi terdahulu yang cenderung cepat percaya atas semua informasi.Mengakhiri diskusi, Ngatawi berpesan agar masyarakat berlomba-lomba beragama yang baik, bukan beragama yang benar karena ketika kita sibuk mencari kebenaran, yang ada justru mencari kesalahan pihak lain. Urusan kebenaran dalam menjalankan agama, lebih baik diserahkan kepada Allah S.W.T. Sementara itu, beragama yang baik lebih difokuskan pada tindakan pribadi untuk berbuat lebih baik tanpa harus mencari kesalahan serta melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi orang banyak.