Redaksiota.com, Jakarta – Bareskrim Polri mendapat dukungan dalam membongkar jaringan mafia tanah yang diduga kongkalikong dengan oknum pegawai Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Terutama dalam kasus pengubahan
tanah ulayat masyarakat Sepang Nggieng seluas 700 hektar, menjadi milik perorangan atau sekelompok orang lain, melalui penerbitan 563 sertifikat hak milik (SHM) yang diduga secara ilegal.
Kasus ini sendiri telah masuk tahap penyidikan, dengan sejumlah orang ditetapkan sebagai tersangka di antaranya oknum pegawai BPN Kabupaten Manggarai Barat.
“Kongres Rakyat Flores (KFR) dan Setara Institute, mendukung penuh langkah Bareskrim Polri membongkar jaringan mafia tanah yang diduga berkolaborasi dengan oknum pejabat karena secara melawan hukum mengubah sebagian,” ujar Ketua Presidium KRF Petrus Selestinus, Kamis (19/11/2020).
Kasus dugaan mafia tanah di Labuan Bajo ini terbongkar, berkat laporan polisi pemangku hak ulayat masyarakat adat Sepang-Nggieng.
Laporan bernomor No. LP/B/0100/II/2020/Bareskrim, tanggal 20 Februari 2020 itu, terkait dugaan tindak pidana pemalsuan surat tanah.
“Kita patut mengapresiasi kerja keras Bareskrim Polri membongkar jaringan mafia tanah Labuan Bajo, karena hal itu berarti Bareskrim Polri atas nama negara menunjukan komitmen konstitusionalnya yaitu menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, sesuai dengan prinsip NKRI, melalui upaya penegakan hukum,” jelas Petrus.
KRF dan SETARA Institute for Democracy and Peace, memprotes keras tindakan oknum di BPN Kabupaten Manggarai Barat. Sebab diduga telah mengabaikan fungsi pelayanan terhadap publik.
“Dan diduga menjadi ‘agen mafia tanah’ menjadi kepanjangan tangan para mafioso ‘menganeksasi’ hak ulayat Sepang-Nggieng, Labuan Bajo untuk kepentingan pihak ketiga. Yang diduga demi transaksi ratusan miliar rupiah. Ini sama saja menghancurkan kesatuan masyarakat hukum adat dan menghambat program strategis nasional,” jelas Petrus.
Sementara, Dewan Nasional SETARA Institute for Democracy and Peace, Benny Susatyo menjelaskan hak ulayat mendapat pengakuan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dimana negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Lalu pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, menegaskan hak menguasai tanah oleh negara, justru dikuasakan kepada daerah swatantra dan kepada masyarakat hukum adat (hak ulayat).
“Dengan demikian mestinya hak ulayat harus menjadi kekuatan menangkal atau menjadi daya tangkal masyarakat, menolak segala anasir-anasir asing yang datang merusak,” tutur Benny.
Ia menilai, jaringan mafia tanah yang terorganisir harus dibasmi. Bukan malah sebaliknya, atau ada praktik-praktik ‘kerja sama’ dengan aparatur pemerintah.
Sebab, kata Benny tindakan tersebut sama saja meremehkan posisi hak ulayat.
“Maka mafia tanah Labuan Bajo, harus kita lawan dan jadikan sebagai musuh bersama masyarakat Manggarai Barat sekarang juga,” kata dia.
“Mengapa harus dilawan? Karena praktik-praktik bejat mafia tanah di Labuan Bajo jika dibiarkan, maka sistem pemilikan tanah secara komunal akan punah, tradisi budaya dan spiritualitas komunal Sepang-Nggieng bisa pudar, pendek kata semuanya akan hilang tanpa bekas,” tandas Benny.