Redaksikota.com – Direktur The Jokowi Center, Teuku Neta Firdaus menyebut bahwa sedikitnya ada 12 Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan PLT Mesin Gas (PLTMG) yang masih belum dioperasikan. Penyebabnya adalah masih disebabkan lagu lama terkait birokrasi kompleks dan belum sepenuhnya terlepas dari perilaku koruptif dari oknum tertentu.
“Persoalan yang sudah begitu menggerogoti perlu diatasi dan perlu disikapi dengan langkah-langkah extraordinary, tegas dan terukur,” kata Neta, Selasa (3/11/2020).
Hal ini juga dikatakan Neta menjawab mengapa PLTG dan PLTMG yang diresmikan Presiden Jokowi beberapa tahun lalu sampai saat ini tidak berjalan, padahal supply LNG di tanah air melimpah.
Contoh kata Neta, kasus PLTG di Mempawah dan Siantan, Kalimantan Barat. Gubernur Kalbar sudah beberapa kali mengingatkan PLN supaya PLTG di sana dioperasikan. Jika hal itu dijalankan dengan baik dan benar, ia yakin PLTG di Kalbar mampu memenuhi kebutuhan pasokan listrik bahkan bisa sampai ekspor.
“Apabila PLTG di Kalimantan Barat difungsikan, bukan saja memenuhi kebutuhan listrik, malah daya listrik di sana bisa diekspor ke Malaysia, kenyataannya sampai saat ini Kalbar masih impor listrik dari PLTA Sesco Malaysia,” jelasnya.
Selanjutnya, Neta mengatakan bahwa jika merujuk pada Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang penugasan pelaksanaan penyediaan pasokan dan pembangunan infrastruktur LNG. Seharusnya penggunaan gas menjadi prioritas, yang terjadi malah dikesampingkan, masih dianggap kebutuhan minoritas.
Jika disederhanakan manfaat Kepmen ESDM nomor 13 Tahun 2020, akan mengurangi ketergantungan pada listrik impor dan menghemat devisa, dari sisi emisi gas buang PLTG jauh lebih baik dan lebih bersih mengurangi pollutant ketimbang PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) yg masih banyak dioperasikan di Kalbar, yang lebih menyedihkan, minyak solar untuk PLTD ini ada kalanya harus diimpor dan disubsidi oleh negara.
“PLN dalam hal ini harus merubah kebijakan energi primernya dengan sebanyak mungkin mengkonversikan PLTD-PLTD tersebut ke gas alam / LNG dan memaksimalkan pemanfaatan gas alam / LNG untuk PLTG-PLTG nya,” papar Neta.
Ia menyebut bahwa setidaknya ada tiga keuntungan yang dapat diperoleh negara jika perubahan kebijakan tersebut dilakukan, yaitu pertama menghemat devisa dengan mengurangi impor solar, kedua menurunkan pollutant, dan ketiga dapat memanfaatkan gas / LNG semaksimal mungkin untuk kepentingan dalam negeri ketimbang diekspor.
“Ini bahagian penting pasal 33 amanat UUD 1945,” tegasnya.
“Harapan kita ke depan semoga Indonesia sukses merealisasikan komitmen menurunkan emisi sebagaimana amanat UU ratifikasi perubahan iklim UNFCCC,” tutup Neta.